Kasidi 218 Â Benar, Abadi, dan Mengikat
Pernah ada masanya mereka yang dapat menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk tulisan mendapat posisi khusus. Tidak hanya dihormati dan dikagumi tetapi juga diidolakan. Tengok saja kisah perjalanan para filsuf. Mereka dikagumi karena gagasan pemikirannya berhasil diabadikan dalam bentuk tulisan yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Terlepas apakah pemikiran yang dituliskan itu diterima sepenuhnya atau sebagian atau bahkan ditolak, yang jelas pemikiran yang dituliskan dapat menjadi acuan, referensi, atau bahan diskusi. Ini dalam ranah filsafat. Lalu bagaimana dengan kisah dan ajaran Tuhan yang juga diabadikan oleh sejumlah penulis? Yang ini agak berbeda karena sekali diyakini bahwa tulisan tersebut adalah Sabda Tuhan, maka isinya segera memperoleh label 'benar, abadi, dan mengikat'.
Meskipun demikian pada tingkatan individu, rasa yakin dan percaya, total atau setengah-setengah, mengikat atau tidak, merupakan faktor penentunya. Sedangkan faktor abadinya dapat dikaitkan dengan salah satu puisi pendek yang hanya terdiri dari 19 kata tetapi makna metaforiknya serasa menembus keabadian.
Kasidi no. 218 ini didedikasikan untuk memberi perspektif 'benar, abadi, dan mengikat' sebuah tulisan. Semoga dengan kerendahan dan kemurahan hati, puisi pendek ini menginspirasi banyak orang betapa pentingnya 'menulis'. 'A word is dead - when it is said - some say. - I say it just - begin to live - that day.'Â
Sebagai catatan tambahan Kasidi mencatat betapa dekat keterkaitan apa yang ditulis dengan kekuasaan yang dimiliki. Seorang pejabat tinggi ketika diingatkan bahwa yang ditulisnya kurang tepat dan sebaiknya diubah, dengan tegas dia mengatakan: "Apa yang kutulis, tetap tertulis." Kasidi no. 218 - -- tbs/sda -21092016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H