Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Di Balik Kerudung Terselubung Skandal Sadap

20 November 2013   23:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:52 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Balik Kerudung Terselubung Skandal Sadap

Selesai menandatangani setumpuk surat dan dokumen negara,
Sang Bima angkat kepala, berbisik lirih pada ponggawa istana,
Panggil Anggara Yudha lalu tahan panggilan masuk, semuanya.
Ponggawa angguk pelan tanda paham, angkat berkas di meja,
Bergegas ke luar dan tak lama kemudian satu pria paruh baya
Melangkah masuk dengan wajah mengeras laksana besi baja.
Pintu metutup rapat, sesaat ruangan pun berubah kedap suara.
Saranmu boleh juga kata sang Bima lirih, tetapi naga-naganya
Tak menguntungkan juga jika ini semua dibiarkan berlama-lama.
Kau tentu sudah membaca apa kata si Hendro, dan ini bahaya.
Si Anggara bergeming, tetapi sinar tajam berkelebat dari mata.
Bagaimana, apa yang ini tak sebaiknya segera dihentikan saja?
Lalu berikutnya amunisi apa saja yang engkau tawarkan, Yudha?

Belum terlalu berbahaya, biarkan bola bergulir sedikit lebih lama.
AM boleh bicara apa saja, tapi tak usah khawatir, tidak ada data.
Dia tidak memegang data pak, yang dipunya hanya ingatan saja
Dan untuk mematahkan gaya yang seperti ini, tentu mudah saja.
Sang Bima menghela nafas panjang, galau tidak pernah sirna,
Sepertinya hampir semua langkah pengalihan, akhirnya sia-sia.
Ada yang baru saya kembang, eh … cepat layu tak bertenaga.
Ada yang sedikit agak lama, tapi dampaknya biasa-biasa saja.
Dulu rasaya dia tidak perlu sibuk bertanya ke sini atau ke sana,
Cukup diam saja, semuanya sudah berjalan seperti harapannya.
Tapi sejak si bungsu masuk ranah politik dan terima banyak dana
Kaki terasa terikat, tangan bagai tak berdaya, dan … ini parahnya,
Dia tidak bisa terlalu keras menekan orang yang tahu ini rahasia.

Ingatan Bima kemudian bergulir jauh ke belakang ke masa-masa
Kala ia segan menghadapi wakilnya semata-mata karena dianya
Keluarkan lebih banyak dana, sekarang setelah wakil digantinya,
Eh … keluarga istana terjerat dana yang sebenarnya tak seberapa
Tapi dampaknya benar-benar luar biasa, dia dipaksa peragu juga.
Beginilah jika bertindak tanggung lenggangnya, dia kena getahnya.
Coba dulu dia mau gunakan tembang mantra otoritas serta kuasa,
Kan tidak begini jadinya … si putra bungsu hanya jadi sekjen saja,
Sang ketua sempat bermanuver secara leluasa, toh akhirnya apa?
Dia juga yang harus turun tangan guna membersihkan rona noda,
Tapi jika dana penjerat nadi sukma sudah terlanjur telah diterima,
Maka yang mudah-mudah akhirnya menjadi amat sulit luar biasa.
Dengan kuasa yang ada di pundaknya, memang dia masih bisa,
Mencegah semuanya berubah menjadi semakin memburuk rupa,
Tapi untuk berapa lama, bukankah waktunya berbilang bulan saja?
Setelah nanti tidak berkuasa bagaimana bisa melindungi keluarga?
Bukankah bisa-bisa semuanya akan berada di bilik-bilik penjara?
Dengan bayangan muram ini, bagaimana ia bisa jalankan negara?

Isu sadap-menyadap memang terasa sedap pada awal rencana,
Tetapi siapa duga si AM mengharu biru, yah … betapa malunya.
Biduk terlanjur kembangkan layar, tidak bisa kembali begitu saja.
Harus ada sarana yang tepat guna untuk ditunjukkan pada dunia
Bahwa masalah ini selesai dan negara pun terjaga martabatnya.
Baiklah, teriak Bima dalam, nanti pasti ada juga jalan keluarnya,
Tapi berikutnya lalu apa supaya tak semakin banyak panah baja
Ujung segitiga lancipnya tepat mengarah ke pintu jendela istana?
Ditatapnya Yudha, ahli strategi parang, politik dan intelijen negara.
Aku sudah ingatkan dulu, isu sadap-menyadap riskan dampaknya,
Eh, engkau ngotot guna dicoba karena amat tepat momentumnya.
Momentumnya apanya, gerutu sang Bima, pelan tapi pedas juga.
Lihat saja, baru seperempat jalan, eh air sudah terpercik ke muka.
Coba, mau bicara apa … kan aku juga yang tanggung akibatnya?

Ya … ya … Anggara menimpali lunak-lunak saja, tetapi tegasnya?
Inilah yang membuat dia selalu saja bisa membuat Bima percaya.
Si Abbot sudah menyatakan penyesalan mendalam, itu akhirnya.
Yang sudah direncana, ya jalankan saja, dubes balik ke posnya,
Kerja sama militer dan intelijen ya dibatalkan, itu permukaannya.
Lain-lainnya ya sudah, biarkan berjalan seperti biasa, bagaimana?
Bima tentu saja tidak memberikan reaksi apa-apa, kau enak saja.
Memberi nasehat saja kerjanya, jika gagal eh nodanya ke muka.
Lalu seakan ingin memutus drama dalam otaknya, suara Yudha.
Stok amunisi pengalihan isu masih banyak … puluhan jumlahnya.
Saya dan tim tadi sedang mendiskusikannya, dan naga-naganya
Yang paling pas waktu dekat ini ya … ditahannya mantan ketua.

Kening Bima berkerut, dia sudah sesali peristiwa ini sejak lama.
Seharusnya kesempatan jadi ketua dipatahkan sejak dulu saja,
Dan dia tentu saja bisa, tetapi karena yakin bahwa karismanya
Sudah cukup menghantar pasangan sang putra ke singgasana,
Dia tak lakukan apa-apa kecuali pura-pura jadi demokrat mulia.
Tetapi siapa duga dana ratusan milyar balikkan semua rencana.
Di samping di luar kotak duga, mungkin juga itu sudah nasibnya.
Sesaat setelahnya, harapan kembali membubung ke angkasa,
Pasangan ketua dan sekjen memberi harapan harumnya bunga,
Tapi di tengah jalan, entah sial entah bagaimana, si bendahara
Terkuak belangnya dan … sekali lagi harapan retak-retak kaca.
Belum prahara reda, nama si putra disebut oleh buronan celaka.
Tak ada pilihan, ia harus dibungkam entah bagaimana caranya.
Untuk sesaat memang nama sang putra menghilang dari arena,
Tetapi mungkin karena memang takdirnya, gema jejak terus ada,
Timbul tenggelan lalu kembali tepat ke rumah sang mantan ketua.
Dan sekarang amunisi yang ditawarkan penasehatnya ini-ini juga?
Lalu bagaimana jika halaman dua dan tiga benar-benar dibaca?
Bukankah dia yang akan konyol meskipun mungkin tidak segera?

Memang ada bahaya dibacanya halaman dua atau halaman tiga,
Tetapi jika dibiarkan lama mengambang, bahayanya berlipat tiga.
Sekarang bapak masih di istana, walau tak menyolok tetapi bisa.
Jika sudah tak di istana keadaan bisa semakin runyam, ini petaka.
Jadi mungkin sudah waktunya isyarat cahaya dikirimkan ke KPK.
Bima kembali menghela nafas, esok memang masih ada senja
Tetapi merah jingganya langit senja seakan-akan menjadi tanda
Bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, rona senja miliknya
Juga akan segera tiba … ini jelas petaka, ini sudah pasti bencana.
Dengan sayap terikat lalu bagaimana dianya bisa mengangkasa?
Ah … karma … karma … pada akhirnya engkau ternyata tiba juga.

Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Polandia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun