----- ------- ----
Fajar tinggal sepotong.
Ia terlantar diantara angin dan suara yang melambatkan waktu.
Disampingku, rindu yang gugup bersandar, mencoba meminjam takdir.
Pada dadaku mungkin dadamu, terperangkap ribuan makna.
Sepasang mataku mulai memiliki atau dimiliki oleh sepasang matamu.
Rinduku, sepertinya apa lagi rindumu masih saja berdegup.
Mencari celah dari perangkap berlapis-lapis ego.
Kubaca lekuk tubuhmu yang nampak ragu;
Sesak, sesal atau malu.
Pada matamu yang kaca, rasa meminta perlindungan.
Kusiasati dengan sedikit tawa, banyak kata.
Sementara itu, kupenggal kekalahanku agar tak terbaca semesta.
Dan kau.
Tetaplah kanak yang sama, menari di setajam nalarku.
Fajar pergi.
Kata-kata nihil makna telah habis dilahap gurau.
Sebentar lagi, kabut berkabung.
Kau hanya bisa menggulung rindu yang tak kunjung dirayakan.
Sesekali memungut rapalan mantra tanpa keyakinan.
Lalu, tiada apa?
Lalu apa, tiada?
Apa, lalu tiada?
Tiada, lalu apa?
Biarlah terus seperti ini.
Kau mungkin lupa.
Pernah kau ajarkan:
Kenal ialah kenang;
Suka ialah luka;
Cinta ialah duka;
Pasti ialah pisah;
Sedang rindu hanyalah rindu.
Waktu tak lagi melambat.
Silau dunia tergesa membawamu menuju kedewasaan.
Kenyataan tentangmu terang menggilas segala mesraku.
Kita mulai terasing, pada masing-masing.
Dan pasti tak lama lagi.
Kau, yang besok raib dari sampingku.
Selama kau kanak kenangku,
Do'aku bersamamu di batas-batas sepi.
Selama rindu menengadah mengalah,
Kau kumiliki seluruh.
Atas nama makna yang tumbuh di belantara hasratku, mungkin hasratmu.
Meski pada matamu cinta mekar pada ratusan bangkai serupa kekasih.
Pada mataku, rindu tak kubiarkan selesai menjagamu.
Hingga pada(m) matamu,
atau m a t a k u.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H