Malam itu, langit Bandung yang biasanya penuh dengan gemerlap lampu kota terasa berbeda. Ada semacam semangat yang merayap di udara, meski suasana di sekitar kosan saya terbilang biasa saja. Tidak ada dekorasi meriah, tidak ada musik keras, hanya deretan pintu kamar kos yang tertutup rapat. Tapi saya tahu, malam ini akan istimewa.
Sejak siang tadi, beberapa tetangga kos sudah mulai sibuk mempersiapkan acara kecil-kecilan untuk malam tahun baru. Sedangkan saya sibuk tiduran di kamar karena sudah ada kakak saya yang membantu. Tidak ada rencana besar, hanya obrolan spontan beberapa hari sebelumnya yang berujung pada ide untuk berkumpul di lantai atas dekat atap kosan. Dengan dana patungan, kami sepakat untuk membeli bahan-bahan untuk bakar-bakaran, dari sosis, jagung, hingga aneka camilan dan minuman ringan.
Malam Dimulai dengan Persiapan Sederhana
Sekitar pukul 9 malam, suasana kosan yang biasanya sunyi berubah menjadi riuh. Satu per satu penghuni mulai keluar dari kamar mereka, membawa barang-barang yang telah disiapkan sejak sore. Rizky, mahasiswa tingkat akhir di Unikom yang kos di sebelah kamar saya, terlihat membawa kipas angin kecil untuk membantu menyalakan bara api. Kakak saya, dan sifat seorang pekerja kantoran, datang membawa aneka camilan yang dibeli sebelumnya. Sifat, Yudi, Idan, dan beberapa teman mereka turut serta, membawa makanan seperti ayam goreng dari Lawson, tempat kerja salah satu teman mereka. Bahkan beberapa penghuni yang biasanya jarang terlihat ikut keluar, tertarik oleh keramaian yang jarang terjadi ini.
Di teras atas kosan, kami mulai menyiapkan panggangan. Pa Parlan, tetangga kosan diatas yang sudah seperti ayah bagi kami, mengambil alih tugas menyalakan arang, dibantu Rizky, Yudi, Wily, dan beberapa penghuni lainnya. Widya dan Sifat mulai meracik bumbu oles untuk ayam dan jagung. Semuanya bergerak santai, tanpa terburu-buru, sambil sesekali bercanda. Saya sendiri memilih duduk di sudut, menjaga tumpukan camilan yang sudah disiapkan, sesekali mencicipinya sambil menikmati suasana.
Malam itu terasa berbeda. Biasanya kosan ini sunyi, hanya diisi suara televisi samar atau langkah penghuni yang lewat. Tapi malam ini penuh dengan tawa, obrolan ringan, dan kesibukan kecil yang hangat. Beberapa penghuni mencoba menyalakan arang sambil meniup-niupnya dengan semangat, meski sesekali bara api masih malas menyala. Kami semua tertawa melihat wajah mereka yang mulai berkeringat karena terlalu dekat dengan api.
"Coba pake kipas, biar cepet!" seru Rizky sambil tertawa, mengarahkan kipas angin kecil ke bara yang mulai merah membara. Setelah beberapa percobaan dan kerja sama, akhirnya bara api berhasil menyala dengan stabil, disambut sorakan kecil dari semua yang hadir.
Setelah itu, suasana menjadi semakin akrab. Jagung, ayam, dan sosis mulai dipanggang, aromanya memenuhi udara malam yang dingin. Widya dan Sifat tak berhenti mengoleskan bumbu, sementara beberapa penghuni lain menyanyi bersama, diiringi gitar yang dimainkan oleh Idan. Saya hanya duduk menikmati semua itu, merasa bersyukur bisa merasakan momen sederhana tapi berharga seperti ini.
Malam itu terasa hidup, hangat oleh tawa dan kebersamaan. Rasanya seperti rumah, meski kami semua datang dari tempat yang berbeda-beda. Sesaat sebelum makanan matang, Pa Parlan mengangkat gelas plastik berisi teh manis dan berkata, "Malam ini kita semua keluarga. Jangan lupa bersyukur, ya." Kami pun menyambutnya dengan senyuman dan anggukan. Pesta kecil itu mungkin sederhana, tapi kenangan yang tercipta akan terus teringat.
Dimulai dengan Obrolan dan Canda Tawa
Ketika aroma jagung bakar mulai menguar di udara, satu per satu penghuni kos berkumpul lebih dekat. Saya yang sudah duduk di lantai dengan piring plastik di tangan, menikmati jagung bakar yang baru saja matang. Rasanya sederhana---hanya mentega dan sedikit garam---tapi entah mengapa malam itu, segalanya terasa lebih enak.