Pada beberapa tahun belakangan ini, batas-batas antar negara semakin kabur dan dunia yang luas ini seakan menyempit. Kita dapat menikmati dengan bebas produk budaya dan kreatif dari seluruh dunia tanpa harus berjuang untuk meraihnya seperti yang terjadi masa lampau. Dan dari produk budaya tersebut, seperti musik, novel, film, dan lainnya, kita dapat terinspirasi untuk membuat karya-karya seni dan budaya kita sendiri.
Namun, beberapa tahun belakangan ini sering terdengar istilah “cultural appropriation” terutama di negara-negara barat seperti Amerika Serikat (US) dan Inggris (UK) oleh para anak muda, terutama para mahasiswa di universitas-universitas ternama di kedua negara tersebut. “Cultural Appropriation” ini dalam definisinya adalah anggota dari budaya yang dominan mengambil alih tanpa izin nilai-nilai yang ada di budaya lainnya. (Young, James O.(February 1, 2010). Cultural Appropriation and the Arts. John Wiley & Sons. p. 5.)
Definisi ini kemudian terdistorsi menjadi segala sesuatu yang diambil oleh pihak mayoritas tanpa izin merupakan sebuah cultural appropriation dan menjadi sebuah kekonyolan yang massif dan menjadi penghalang kita atau orang lain untuk berkreasi dengan bebas.
Mei ini, mahasiswa universitas Cambrige melakukan protes ketika Queen’s College membuat jamuan makan malam bertemakan Lion King tanpa melakukan kroscek terlebih dahulu dengan komunitas Afrika tentang apa yang seharusnya dilakukan. Atau yang terlebih konyol, dua orang senat mahasiswa mendapatkan impeachmentketika mereka datang ke pesta ”tequila” dengan menggunakan sombrero. Hikmah yang kita dapat dari insiden ini jangan memakai topi milik orang lain. Haram.
Atau cerita lainnya, ketika Iggy Azalea mendapatkan mendapatkan nominasi grammy untuk category best rap album, dia mendapatkan protes keras dari netizen karena dia bukan orang kulit hitam atau music rap itu adalah milik kulit hitam. “What? That’s rasicm, no? That’s a cultural appropriation”.
Kejadian yang terakhir, berkesan dengan dalam di hati penulis, saat beberapa hari lalu, pentas teater “Aida” oleh Musical Theatre of Bristol di University of Bristol dibatalkan akibat beberapa pemeran orang-orang mesir akan diperankan oleh orang kulit putih dan itu berarti cultural appropriation atau istilah populernya, white washing.
Semua kejadian diatas memberikan dampak dimana kita harus berhati-hati dalam berkarya dengan memperhatikan semua elemen yang ada agar tidak ada pengaruh budaya asing tercermin dalam karya kita.
Pertanyaannya adalah apakah bisa? Tidak.
Karena dalam setiap mengerjakan sesuatu, kita pasti terinspirasi oleh hal lain, entah itu dari nilai yang ada di dalam budaya kita ataupun dari budaya asing. Saya sangat menyukai gaya penulisan Paulo Coelho, saat saya menulis karya saya sendiri, ada beberapa gaya penulisan yang mirip dengan Paulo Coelho. Atau saat saya membuat lagu, ada beberapa pengaruh musik jazz Nat King Cole disana. Apakah semua ini salah? Apakah ini membuat karya saya hanya sebagai “jiplakan” semata?
Dalam dunia kreatif, inspirasi datang darimana saja dan bebas, tidak terkekang dalam sebuah batasan kaku. Ketika kita membuat karya yang terinspirasi dari karya budaya asing, itu tandanya kita menghargai karya budaya tersebut dengan sangat tinggi.