Di antara gulita dini hari,
ia bangkit menantang sunyi,
berangkat dari rumah dengan peluh yang menganak sungai,
mengantar sang putra menuju asa yang jauh dan tinggi.
Didikannya keras, tak kenal lelah,
bukan sekadar disiplin, tapi kasih yang dalam terbungkus tabah.
Langkahnya berat, tapi tak pernah gentar,
melangkah lurus meski letih menyergap,
demi melihat putranya kelak berdiri gagah.
Di sepertiga malam, ia mengetuk pintu langit,
doanya tak pernah jeda, lirih dan hening,
memohon jalan terang bagi putranya,
agar kemudahan selalu menyertai setiap jejak langkahnya.
Hingga hari itu tiba,
saat putranya berdiri dengan toga,
dengan gelar tertinggi di dada.
Air matanya mengalir tanpa suara,
bukan karena lelah,
tapi bahagia yang meledak tanpa kata.
Ayah, engkau adalah pilar di hidup ini,
dalam tegarmu, kami menemukan arti,
pengorbananmu adalah janji yang abadi,
terima kasih, ayah, untuk setiap doa yang kau titipkan dalam sunyi.
Meski engkau tlah tiada,
Amalmu akan menemani dan menjaga hingga akhir masa,
Kebahagiaan selalu terlimpah padamu di alam sana,
Ku kan selalu melanjutkan asa selanjutnya.
*100 hari Wafatnya Ayahanda Misnan bin Sarmin. Alfatihah...