Bekantan (Nasalis larvatus), si primata berwajah unik dengan hidung panjang yang mencolok, adalah salah satu satwa endemik Borneo yang kini menghadapi ancaman serius.
Dinyatakan sebagai spesies terancam punah (endangered) oleh Red List IUCN, bekantan merupakan ikon penting ekosistem mangrove di Kalimantan dan memiliki habitat yang kaya di wilayah pesisir Teluk Balikpapan.
Kawasan ini menjadi habitat vital bagi bekantan, terutama di tengah pesatnya pembangunan di sekitar Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang baru.
Habitat Bekantan di Teluk Balikpapan
Menurut catatan terbaru hasil penelitian Atmoko dkk (2024) yang terbit di Jurnal Internasional bereputasi, Journal Environmental Monitoring and Assessment, luas habitat bekantan di Teluk Balikpapan mengalami sedikit penurunan dari sekitar 200 km² pada tahun 2017 menjadi 195 km² pada tahun 2022.
Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan, pembangunan infrastruktur industry, dan ekspansi kegiatan manusia di wilayah pesisir dan kawasan hutan bakau. Dengan populasi yang diperkirakan mencapai 1.449 individu, hampir setengah dari populasi ini kini berada di wilayah yang masuk dalam area IKN.
Bekantan tidak hanya menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove yang menjadi sumber makanan, tempat berlindung, namun juga memerlukah habitat peralihan antara hutan mangrove dengan hutan daratan.
Kedua areal tersebut menjadi habitat yang esensial untuk mereka berkembang biak dan berlindung dengan aman. Hutan daratan dan habitat mangrove yang padat dengan vegetasi bakau, nipah, dan tumbuhan air lainnya menyediakan beragam makanan alami bagi bekantan, seperti pucuk daun, buah-buahan, serta kulit batang.
Namun, pembangunan yang mengancam keberlanjutan habitat ini dapat menyebabkan berkurangnya ketersediaan makanan dan mengancam keberlangsungan hidup bekantan dalam jangka panjang.
Pentingnya Perlindungan Bekantan di Kawasan IKN