PENDAHULUAN
Hampir tiga perempat abad yang lalu, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, dengan harapan kemanusiaan yang sangat besar, lahirlah negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Ia diharapkan bisa mewujudkan impian membawa bangsa ini dalam kehidupan yang cerah serta tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Sayang, sepanjang perjalanan itu ia justeru menyiratkan kesuraman dan ketidakberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang agung. Tragedi-tragedi kemanusiaan terus bermunculan di bumi negeri ini. Suatu hal yang pasti bahwa “budaya kekerasan” dan “budaya menghalalkan semua cara” untuk menggapai suatu tujuan oleh sebagian anak bangsa ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Di tengah derasnya arus peradaban moderen ini, banyak manusia Indonesia yang tidak semakin bijak dalam menyelesaikan masalah-masalah kolektifnya.
Meskipun semakin banyak orang bisa menggapai puncak ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, di negeri ini justeru banyak bertebaran tindakan-tindakan immoral oleh orang-orang yang terbius dengan kehidupan duniawi yang moderen. Peradaban moderen telah menggiring sebagian anak bangsa ini untuk mininggalkan budaya kearifan dan kebijakan. Banyak diantara anak bangsa ini yang telah menjadi budak sahaya yang menghamba kepada peradaban moderen, yang dianggapnya sebagai “Tuhan”. Dengan bertopengkan peradaban moderen, mereka berteriak dan bertindak untuk “membangun masa depan yang lebih baik”, padahal sesungguhnya mereka adalah penghancur-penghancur kelas wahid negeri ini.
Dalam situasi yang demikian, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk melakukan refleksi melalui jendela sejarah tentang manusia dan masa depan Indonesia. Sangatlah beralasan apabila kita berharap bahwa peradaban Indonesia yang akan datang lebih cerah dan arif daripada masa yang sedang kita lalui ini. Ataukah kita akan membiarkan ia terus tenggelam ke dalam jurang kesuraman dan diobok-obok oleh manusia-manusia immoral, budak-budak peradaban moderen, yang semakin bertambah banyak?
KEBOBROKAN DI BALIK PERADABAN MODEREN: SEBUAH REFLEKSI HISTORIS
Peradaban moderen, jika kita telusuri sejarahnya, berakar dari peradaban bangsa Barat yang berlangsung sejak zaman renaisans. Peradaban ini menempatkan manusia sebagai roh kehidupan, yang menentukan segala-galanya, termasuk menetapkan kriteria benar dan salah, baik dan buruk. Semuanya serba diukur secara kasat mata dengan indra-indra manusia, yang sesungguhnya serba terbatas. Hati nurani dicampakkan, tak lagi menjadi ukuran. Bahkan konsep Tuhan sebagai sumber segala kehidupan telah digusur secara sistemik dan pasti. Nilai-nilai spiritual keagamaan dianggap sebagai warisan yang sudah usang. Oleh karenanya peradaban Barat ini sangat sekuler, bahkan cenderung ateistik. Sistem peradaban yang demikian, oleh PA Sorokin, disebut dengan Sensate system of truth.
Fondasi kebenaran yang dangkal dan rapuh, karena hanya menggunakan ukuran-ukuran indrawi yang serba terbatas, telah memacu tingginya intensitas permusuhan, peperangan, brutalitas, pertumpahan darah, dan bahkan kehancuran. Sensate system of truth, menurut PA Sorokin, begitu amat sangat dangkal, bahkan membusuk. Maka tidaklah mengherankan tindakan-tindakan yang berhulu/berakar dari peradaban yang sudah membusuk akan melahirkan kebiadaban, kebohongan, dan kebringasan. Tidaklah mengherankan pula pada akhirnya peradaban ini membawa manusia pada malapetaka semesta dan berkeping-kepingnya peradaban umat manusia.
Peradaban modern dengan segala sistem dan dampaknya telah berimbas sampai ke Indonesia. Bangsa Indonesia berlomba-lomba untuk menjadi orang/bangsa yang berperadaban modern. Bangsa ini bersolek dan mengukur diri dengan hal-hal yang kasat mata. Suatu perkotaan dianggap modern jika terdapat banyak “hutan beton” dan fasilitas-fasilitas megah serta penataan lingkungan yang bersih, rapi, dan indah. Kota/daerah metropolis menjadi impian bagi setiap pemimpin daerah di bumi ini. Sebuah lembaga pendidikan akan dinilai sukses apabila memiliki gedung dan fasilitas yang wah, jumlah murid/mahasiswa yang banyak, tingkat kelulusan dan kenaikan yang 100%, dan nilai-nilai ijazah/rapor yang tinggi. Orang-orang di bumi inipun saling bersaing untuk memiliki rumah, kendaraan, tabungan, dan fasilitas-fasilitas hidup lainnya yang banyak dan serba “wah”. Tidak mengherankan jika ekses peradaban modern, yang menurut Sorokin sudah membusuk, yaitu lahirnya kebiadaban, kebohongan, dan kebringasan, telah lahir pula di bumi tercinta ini.
Korupsi - sebuah perilaku yang bukan hanya tidak manusiawi tetapi juga benar-benar telah mengabaikan Tuhan - telah banyak mewarnai perjalanan bangsa kita selama ini. Kasus-kasus korupsi telah merambah di hampir semua lini kehidupan bangsa ini. Sejak awal merdeka hingga saat ini sudah tercatat puluhan ribu kasus korupsi. Bahkan untuk kasus-kasus korupsi sepuluh tahun terakhir ini telah benar-benar mengerikan, bukan hanya jumlah uang yang dikorupsi begitu sangat fantastis, melainkan pelakunya secara jamaah, bahkan diantara mereka adalah - yang oleh masyarakat awam dikenal sebagai - pemuka-pemuka agama.
Kebiadaban, kebohongan, dan kebringasan juga terjadi di dunia pendidikan di negeri ini. Kebocoran soal dan praktek kecurangan dalam berbagai ujian serta markup nilai di berbagai tingkatan pendidikan selalu menjadi isue/perbincangan nasional hampir di setiap waktu. Beberapa dekade terakhir ini media cetak dan elektronik di jagad negeri ini sering dihiasi dengan berita-berita perkelahian antar pelajar/mahasiswa. Demikian pula dengan tindakan-tindakan asusila, yang banyak dilakukan oleh para pelajar/mahasiswa kita. Kekerasan, dengan dalih kegiatan ospek, yang sering kali berujung pada kematian, sering disuguhkan oleh dunia pendidikan kita.
Gambaran di atas hanyalah sebagian kecil dari tragedi kemanusiaan dan peradaban di negeri tercinta ini. Dengan akal dan nurani yang tajam-mengkilat kita akan bisa menemui banyak lagi tragedi kemanusiaan, yang mungkin jauh lebih beringas dan biadab.
PENTINGNYA PENDIDIKAN SEJARAH DAN MASA DEPAN
Kita tidak tahu entah berapa lama lagi bangsa Indonesia dapat meneruskan karier hidupnya di planet bumi ini. Dari kekayaan sejarah kita diberi tahu bahwa peradaban manusia telah mengalami proses bangun-jatuh oleh sebab-sebab yang bervariasi. Berkaitan dengan ini, Ahmad Syafi’i Ma’arif memberikan pandangan:
Berbeda dengan keruntuhan peradaban akibat keganasan alam yang bersifat lokal, nafsu serakah manusia yang tak bermoral akan merusak peradaban moderen ini secara total. Peradaban yang masih dominan di abad ini adalah peradaban yang telah “membunuh” Tuhan. Tapi apa yang berlaku sebenarnya adalah “pembunuhan” manusia dan peradabannya bila ditinjau dari jurusan nilai-nilai moral-transedental.
Pada masa depan bila eksistensi manusia Indonesia masih mau diteruskan di permukaan bumi ini, maka waktunya sudah sangat krusial untuk “mengundang” Tuhan bekerjasama demi meramu kembali pilar-pilar peradaban yang berwajah ramah, sopan, dan anggun. Untuk itu sangat krusial pula dihadirkannya peran pendidikan sejarah. Sangatlah penting anak bangsa negeri ini menjadi anak bangsa yang sadar sejarah. Janganlah sampai anak bangsa di negeri ini alergi terhadap pendidikan sejarah agar kita bisa berkaca segera kepada sejarah sebagai laboratorium peradaban dan kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H