Sebenarnya, saya bukan tukang foto beneran (saya tulis saja 'tukang foto' -bukan 'fotografer'). Saya membeli kamera cuma karena ingin menyalurkan hobi, selain ingin memuaskan diri dari rasa sok ingin tahu saja tentang fotografi.
Kadang (sering sih-hehe), istri saya ngomel-ngomel: " Hobi kok mahal, kamera bagus sudah dibeli (ukuran kami), softbox-nya juga, e... kok cuma untuk iseng-isengan!" (ada benarnya juga sih-hehe). Nah, suatu ketika, oleh seorang kenalan (kepala sebuah taman kanak-kanak), istri saya ditawari untuk memotret murid-murid di TK-nya (pas foto untuk ijazah dan foto grup) karena dia tahu kami punya kamera. Akhirnya, di depan istri, dengan berat hati (tak bisa menolak-takut dia marah) saya mengangguk saja tanda setuju untuk melaksanakan order pemotretan itu. Tiba pada hari pemotretan, pagi-pagi benar saya sudah bersiap, kamera dan softbox saya masukkan ke dalam mobil dan go! Istri juga ikut serta, saya menolak sendirian, karena grogi memotret di hadapan orang ramai, apalagi yang ada biasanya adalah hanya para ibu, guru-guru (yang juga wanita) ditambah murid-murid TK dengan aneka tingkahnya. Usai pemasangan kain background warna merah berikut setting cahaya, masuklah di sesi pertama, yakni pemotretan masing-masing anak untuk pas foto. Cukup atur posisi, pakaian, dan pegang-pegang anak agar sesuai untuk pemotretan setengah badan, lalu bilang 'bagus...tahan' dan pret...pret. Meski memakan waktu cukup lama, karena dari empat puluh anak, masing-masing bisa dua sampai empat jepretan, akhirnya, sesi tersebut selesai juga. Tibalah sesi kedua, pemotretan grup segera berlangsung, penataan tempat dan posisi anak-anak dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi yang ada. Berhubung ini merupakan pemotretan grup yang melibatkan banyak orang (baca: anak-anak!) yang sangat sulit dikontrol, maka, saya harus punya kiat khusus dalam pembidikan sekaligus eksekusi tombol shutternya. Pertama, saya mencoba menggunakan metode curi-curi atau diam-diam memencet shutter setelah pengaturan pose. Dengan cara ini, saya berharap, face dan gaya subjek benar-benar alami dan enjoy. Upaya ini ternyata gagal total! Dengan cara mengucap 'tahan...' lalu jepret pun tidak berhasil, karena mereka memang begitu sulit dikendalikan tingkah dan konsentrasinya, padahal sudah berulang kali diatur kembali dan diingatkan oleh para gurunya. Sebenarnya, banyak cara untuk pemberian kode kepada subjek untuk siap dijepret, dengan harapan pada saat tombol shutter ditekan, yang bersangkutan tidak kaget dan berkedip atau terpejam matanya. Tapi entahlah, hari itu kepala saya tiba-tiba seperti blank dan mati akal.
Melihat keadaan itu, akhirnya, saya menyerah dan kembali menggunakan metode klasik saja, yaitu memberi aba-aba satu-dua-tiga-jepret. Sebuah metode tukang foto di masa lalu yang cukup berhasil, meski berimbas pada kekakuan subjek (tidak enjoy bagi yang tidak biasa).
"Nah, sekarang kita pakai aba-aba hitungan tiga kali ya anak-anak!" Mereka diam tidak menyahut. Sip dah kalau begitu, artinya, posisi (pose) anak-anak tidak berubah. Keadaan lumayan tegang, terutama saya. Anak-anak sudah kaku dan menahan napas menghadap kamera. Nah, ini pertanda baik, pikir saya. Sambil mata mengintip mantap, sementara jari telunjuk tangan kanan berada di atas tombol shutter, saya berteriak: "Siap! Satu...!" "Dua...tiga!" (kali ini 'dua...tiga'-nya bukan saya yang meneriakkan). Sebuah suara koor nan kompak dari empat puluh anak, tanpa dikomando langsung bergema di dalam ruang pemotretan! Saya terkejut dan heran, kok bisa begini ya? "Oke, kita ulang ya....!", teriak saya, tidak menggubris ulah mereka. Namun, seusai saya mengucapkan aba-aba 'siap! satu...!', lagi-lagi, dengan tanpa rasa bersalah, empat puluh murid TK di depan saya itu serempak menimpali dan melanjutkan hitungan 'satu' saya itu dengan kata-kata 'dua...tiga!'. Saya bingung. Berulang-ulang saya lakukan, keadaan juga tetap sama, anak-anak melanjutkan (bahkan) lebih lantang dan bersemangat: "Dua...tiga!". Aduh, bagaimana hasilnya nanti, kalau konfigurasi dan pose yang sudah susah payah dibangun menjadi berantakan hanya karena mulut-mulut mungil mereka bergerak-gerak mengucap 'dua...tiga'. Lesu. Saya hanya mendiamkan saja kejadian tersebut, takut mereka jadi kecewa. Hanya, di dalam hati, saya bertekad akan bekerja keras melakukan editan dengan berbekal puluhan kali jepretan, pilih-pilih mana foto anak yang bagus diambil, yang jelek saya buang. Usai meringkasi alat, dengan gontai saya berjalan keluar ruangan. Sebelum sampai pintu, saya sempatkan menyapa murid-murid TK itu yang memang masih asyik berkerumun di lokasi pemotretan tadi: "Nah, potret-potretan-nya sudah selesai ya... anak-anak. Sekarang Pakdhe pamit pulang ya.....!" "Terima kasih Pakdhe!", teriak mereka masih serempak dan kompak seperti sediakala. Bedanya, kali ini ditambah dengan iringan tepuk tangan nan panjang serta meriah. Segala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H