Mohon tunggu...
T. Astari
T. Astari Mohon Tunggu... Freelancer - -

Seorang bibliophile yang sedang dalam proses menulis, ingin menjelajahi pengalaman, belajar, dan berkembang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

"Romantisasi Hidup": Kebahagiaan Vs Kesehatan Mental

27 Maret 2024   07:53 Diperbarui: 27 Maret 2024   08:03 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tren "Romantisasi Hidup" telah menjadi perbincangan yang hangat, mengundang kita untuk merenung tentang bagaimana kita menghargai momen-momen kecil dalam kehidupan kita. Ini bukan hanya tentang hubungan romantis dengan orang lain, tetapi juga tentang menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan sehari-hari. Mungkin kita pernah mengambil foto pemandangan yang indah, menikmati kopi di tengah hujan, membaca buku kesukaan di kamar atau sekadar menanam tanaman di halaman belakang. Semua itu adalah upaya kita untuk merasakan keindahan dalam momen-momen yang terkadang diabaikan oleh banyak orang.

Manfaat meromantisasi hidup, yaitu:

  • Meningkatkan kebahagiaan dan rasa syukur
  • Mengurangi stres dan kecemasan
  • Meningkatkan kreativitas dan imajinasi
  • Memperkuat hubungan dengan diri sendiri dan orang lain

Konsep romantisasi hidup ini mirip dengan konsep Hygge dari Denmark, di mana orang menciptakan atmosfer yang hangat dalam aktivitas sehari-hari dan menikmati momen-momen kecil baik sendiri maupun bersama orang terdekat. Dan bukan kebetulan, Denmark dikenal sebagai salah satu negara paling bahagia di dunia. Di Indonesia, "romantisasi hidup" ini menjadi sebuah tren yang mulai viral di platform media sosial seperti TikTok, mendorong orang untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Ini adalah tentang mengambil kendali atas kehidupan kita sendiri dan menjadi pusat perhatian dalam narasi kita sendiri, seperti tokoh utama dalam sebuah film. Namun, di tengah semua keindahan dan kebahagiaan yang ditemukan dalam meromantisasi hidup kita, penting untuk diingat bahwa ada juga bahaya dalam romantisisasi yang berlebihan, terutama ketika hal itu berkaitan dengan kesehatan mental.

Generated with AI (www.bing.com)
Generated with AI (www.bing.com)

Romantisasi gangguan mental merupakan fenomena yang semakin umum terjadi di media sosial, di mana gangguan mental dianggap sebagai sesuatu yang estetis dan glamor. Ini bisa mengarah pada self-diagnosis yang tidak akurat dan bahkan berpotensi membahayakan individu yang sebenarnya mengidap gangguan mental. Media massa dan media sosial berperan penting dalam membentuk persepsi masyarakat tentang kesehatan mental. Namun, terlalu sering, mereka malah memperkuat miskonsepsi dan romantisisasi yang berlebihan terhadap gangguan mental.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menghentikan romantisisasi yang tidak sehat ini. Meskipun penting untuk menghargai kehidupan kita dan menemukan keindahan dalam momen-momen kecil, kita juga harus memahami bahwa gangguan mental adalah kondisi serius yang memerlukan perhatian dan penanganan yang tepat. Sebuah studi yang dilakukan di MTsN 1 Kota Malang menunjukkan bahwa siswa-siswa telah terpapar dengan konsep romantisisasi kesehatan mental melalui media sosial, tetapi kebanyakan dari mereka tidak sepenuhnya memahami definisi atau implikasi dari hal tersebut. Hal ini menegaskan pentingnya pendidikan dan kesadaran tentang kesehatan mental di kalangan remaja, serta peran media dalam menyampaikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab.

Selain itu, penting juga untuk menyadari bahwa romantisisasi hidup bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dilakukan dengan tepat. Meromantisasi kehidupan kita sendiri bukanlah tentang menciptakan gambaran palsu atau mengabaikan realitas, tetapi tentang menghargai keindahan dalam momen-momen sehari-hari dan mengambil kendali atas narasi kita sendiri. Namun, romantisisasi yang berlebihan bisa memiliki dampak yang merugikan, terutama ketika berkaitan dengan gangguan mental. Ketika gangguan mental digambarkan sebagai sesuatu yang estetik atau glamor, ini dapat memicu self-diagnosis yang tidak akurat dan bahkan memperkuat stigma negatif terhadap orang-orang yang sebenarnya mengalami gangguan mental.

Generated with AI (www.bing.com)
Generated with AI (www.bing.com)

Seiring dengan meningkatnya kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental, baik di kalangan remaja maupun masyarakat umum, media massa dan media sosial harus bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi yang akurat dan menghindari romantisisasi yang berlebihan terhadap gangguan mental. Bahkan, kita semua memiliki peran dalam menghentikan romantisisasi yang tidak sehat ini. Sementara kita boleh meromantisasi hidup kita sendiri dengan menghargai momen-momen kecil dan menemukan keindahan dalam kehidupan sehari-hari, kita juga harus tetap sadar akan pentingnya memperlakukan gangguan mental dengan serius dan mengarahkan individu yang membutuhkan bantuan ke sumber daya yang tepat.

Dengan pendekatan yang seimbang dan kesadaran yang tepat, kita dapat menghormati kehidupan kita sendiri tanpa mengorbankan pemahaman yang benar tentang kesehatan mental. Ini adalah langkah penting dalam memastikan bahwa kita semua dapat hidup dengan bahagia, sehat, dan bermakna.

Referensi:

Dhiza Nurhanifah, Fathia Majida Thoyyib, Liza Hasna Naziha, & Lutfi Fauzan. (2023). Gambaran Romantisasi Kesehatan Mental pada Siswa Kelas VIII di MTsN 1 Kota Malang. Prosiding SEMDIKJAR (Seminar Nasional Pendidikan Dan Pembelajaran), 6, 1952–1962. Retrieved from https://proceeding.unpkediri.ac.id/index.php/semdikjar/article/view/3987

Loyensya, Erchi Ad’ha. (2021). Meromantisisasi Gangguan Mental dan Menganggapnya Estetik, Wajarkah? https://www.its.ac.id/news/2021/10/07/meromantisisasi-gangguan-mental-dan-menganggapnya-estetik-wajarkah/

Nityantari, Putu. (2022). Meromantisasi Hidup, Why Not?.
https://medium.com/@nityantariputu/meromantisasi-hidup-why-not-33d8625cf624

Yusainy, C., & Rachmayani, D. (2023). Psikoedukasi Deromantisasi Gangguan Mental pada Komunitas Online. Jurnal Pengabdian UNDIKMA, 4(2), 291. https://doi.org/10.33394/jpu.v4i2.7060

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun