Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Awas: Jangan Sampai 1.000 Lilin Jadi Awal Kerusuhan!

12 Mei 2017   23:46 Diperbarui: 13 Mei 2017   08:23 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan 1.000 lilin muncul di mana-mana. Berawal dari Tugu Proklamasi di Ibu Kota, aksi solidaritas ini menyambar kota-kota lainnya seperti Palembang, Yogya,  Semarang, Surabaya, Bali, Mamasa di Sulawesi Barat, Kefamenanu di Nusa Tenggara Timur, Samarinda sampai Jayapura. Bahkan aksi 1.000 lilin juga "menular" sampai ke Timor Leste. 

Pada khususnya, nyala 1.000 lilin ini merupakan ungkapan bela rasa bagi mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama, yang sekarang meringguk di Mako Brimob, Depok. Namun, pada umumnya, 1.000 lilin ini juga merupakan simbol 1.000 harapan bagi terjaganya NKRI dan pancasila. 

Merebaknya gerakan membela NKRI berlandaskan Pancasila semacam ini dapat dimengerti. Menguatnya sentimen keagamaan dalam Pilkada DKI kali lalu melahirkan tanya dalam diri banyak anak bangsa, apakah setiap orang sungguh diperlakukan sama di depan hukum, tanpa memandang suku, agama, bahasa ataupun status sosialnya. Gerakan 1.000 lilin merupakan ungkapan kekhawatiran akan terkoyaknya kerukunan di antara saudara sebangsa sekaligus kerinduan akan terwujudnya NKRI yang melindungi setiap warganya, seperti yang dicita-citakan para bapa pendiri bangsa.

 Yang patut diwaspadai adalah kemungkinan hadirnya the invisible hands yang hendak menunggangi aksi massa ini demi kepentingannya sendiri. Jangan sampai aksi simpatik yang berangkat dari keprihatinan bersama ini menghasilkan sesuatu yang tidak diinginkan. Pola perdalangan yang tiba-tiba muncul di tengah ranumnya aksi massa dan yang menjadikan aksi massa itu layaknya marionnette alias boneka yang digerakkan dengan temali, sudah beberapa kali terjadi dalam sejarah negeri ini.

Tengoklah tahun 1974, ketika mahasiswa menuntut perhatian pemerintah akan besarnya modal asing yang masuk ke Indonesia dan dengan demikian dianggap melemahkan kemandirian ekonomi dalam negeri. Aksi yang semula berjalan damai, sampai perwakilan mahasiswa di bawah pimpinan Hariman Siregar itu sendiri diterima oleh presiden Soeharto, berujung pada kerusuhan. Mobil-mobil buatan Jepang digulingkan dan dibakar; gedung Astra dirusak; beberapa kantor pemerintah dan swasta juga dilempari batu dan dijarah; pusat perbelanjaan Pasar Senen yang baru saja diresmikan tidak luput dari pembakaran. Bundaran Hotel Indonesia pun dipadati massa yang entah datang dari mana. Aksi massa yang hendak mengungkapkan keperihatinan ekonomi rakyat kecil berujung pada kerusuhan. Yang diuntungkan bukan mahasiswa, bukan pula rakyat. Pada sisa asap dan nyala api dari gedung dan mobil-mobil yang terbakar, pada tangis keluarga yang kehilangan sanak saudaranya, ada tawa para politikus yang puas karena tujuan mereka terpenuhi. Prahara politik yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari) itu masih diselimuti kabut misteri sampai saat ini.

Berkacalah juga pada peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli) tahun 1996. Pada waktu itu, kubu pendukung Megawati menggerakkan aksi massa lewat mimbar bebas di kantor DPP PDI. Hadir dalam mimbar bebas itu sejumlah tokoh yang menentang rezim otoriter Soeharto. Mimbar bebas ini bertujuan baik: menggugah kesadaran rakyat akan penindasan sistematis yang dilakukan Orde Baru. Akan tetapi, kembali, pola perdalangan muncul kembali.

Entah dari mana datang serombongan pasukan berkaos merah menuju Diponegoro 58. Begitu sampai di depan kantor DPP PDI, mereka melempari para pendukung Megawati yang ada di dalam. Perang batu pun terjadi. Pada saat yang bersamaan, massa yang tidak dapat dikenal sudah berkumpul di tiga titik dan terus bertambah: di depan bioskop Megaria, di depan BII dan di depan Telkom. Massa yang jumlahnya ribuan ini menggelar mimbar bebas. Tidak puas berorasi, massa pun melempari petugas keamanan. Akhirnya, para petugas keamanan dari POLRI dan TNI pun bergerak menghalau massa. Massa pun berlarian ke arah Salemba. Kerusuhan pun menyebar. Massa yang lari merusak apa saja yang ditemui: gedung-gedung perkantoran dipecahi kacanya dan dibakar, rambu-rambu lalu-lintas dirubuhkan, dst.

Singkat kata: para politikus tingkat tinggi tertawa kembali di antara puing dan isak tangis korban, karena tujuan mereka tercapai. Siapakah mereka? Jawabannya sampai saat ini masih diselimuti misteri.

Dan terakhir, tragedi Mei 1998. Aksi mahasiswa yang berkumpul di Universitas Tri Sakti untuk mengenangkan rekan-rekan mereka yang ditembus peluru oleh penembak tak dikenal berujung pada pembakaran, penjarahan, pemerkosaan. Tidak perlu dikisahkan kembali peristiwa yang sampai detik ini belum terungkap siapa dalangnya tersebut...

Dari rangkaian tragedi bangsa tadi, beberapa butir dapat ditarik.

Pertama, semuanya berawal dari sebuah aksi massa. Aksi-aksi ini bertujuan baik: mengingatkan pemerintah akan keadaan ekonomi yang makin parah (Malari'74), membangkitkan kesadaran politis rakyat kebanyakan (Kudatuli'96) dan mengenang para korban penembakan sambil menggugat rezim Orde Baru (Tragedi Mei'98).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun