Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film "IT", "Pengabdi Setan" dan "Penghianatan G30S/PKI" (Bukan Sebuah Resensi)

29 September 2017   23:29 Diperbarui: 30 September 2017   00:43 2636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa waktu yang lalu, Bapak Presiden Jokowi mengungkapkan keinginannya agar film lawas Penghiantan G30S/PKI digarap kembali agar dapat dicerna oleh generasi milenial. Membaca ungkapan hati Bapak Presiden RI ini, saya senyam-senyum sendiri. Film sejarah bergaya milenial? Apa jadinya? Spontan lahir imajinasi nakal di benak saya: para tokoh jahat di film besutan Arifin C. Noor itu akan ditampilkan, dalam versi milenialnya, bak alien yang datang dari balik awan hitam dan turun ke bumi hendak menghancurkan umat manusia. Lalu, para tokoh yang dianggap jagoan bersatu menghalangi mereka laksana The Avengers (maaf para penggemar DC, bukan membela Marvel, tetapi film Justice League memang belum keluar kan...). 

Malam ini (29/9/2017) saya baru paham apa maksud Pak Jokowi, setelah menonton remake film Pengabdi Setan buah karya sutradara muda Joko Anwar (Modus Anomali, Pintu Terlarang). Menggarap film yang dapat dicerna generasi kekinian berarti menggunakan kembali idiom-idiom (dari Yunani: idiomatos: sesuatu yang khas) film populer yang biasa ditonton anak-anak muda. 

Inilah yang dilakukan oleh Joko Anwar. Film horror yang menjadi cult di tahun '80-an itu dapat diterima kembali oleh generasi masa kini karena sang sutradara secara cerdas meracik rumusan film-film horror terkini yang laris manis. Ambil contoh: adegan perempuan berambut panjang berkerudung putih tembus pandang mengingatkan saya akan film Woman in Black (2012). Selanjutnya, adegan-adegan di dalam sumur tidak ayal lagi melempar ingatan kita akan Samara Morgan dalam film The Ring (2002). Tidak berhenti sampai di situ, adegan ketok dinding dalam permainan petak-umpet saya kira merujuk pada film The Conjuring (2013). Yang menurut saya revolusioner adalah adegan para pocong yang menyerbu rumah: mereka tidak lagi lumpat-lumpat tetapi berjalan pelan sampai terdengar gesekan kain kafan dengan lantai, persis seperti film-film zombie (sebut semua film zombie dari karya klasik George A. Romero, Night of the Living Dead sampai versi komedinya, Shaun of the Deadbesutan Edgar Wright). 

Hollywood berhasil meremakefilm It dengan apik karena si penggarap mendaur ulang secara kreatif apa yang dulu pernah dibuat. Menarik bahwa setia pada cerita atau film lama tidak berarti mengambil mentah-mentah apa yang sudah ada. Film It versi 2017 tidak terpaku pada kesuksesan mini serinya yang digarap 27 tahun yang lalu. Dengan pendekatan baru, It terbaru berhasil menghidupkan kisah badut peneror anak-anak itu.

Jadi bagaimana menggarap kembali film Penghianatan G30S/PKI yang kini berusia 33 tahun itu? Fantasi saya melambung: serahkan penggarapannya pada sutradara-sutradara muda idealis semisal Hanung Bramantyo, Joko Anwar atau Rizal Mantovani. Saya bayangkan mereka akan mengambil rumusan-rumusan film dokumenter yang terbukti ampuh menghadirkan dokumen-dokumen sejarah ke dalam layar lebar seperti Zero Dark Thirty (2012), American Sniper (2014), atau Spotlight (2015). Film-film dokumenter ini menjadi menarik bukan karena menyajikan fakta sejarah secara hitam putih laksana kulit Marty si zebra dalam film Madagascar.Ketiganya sukses tidak saja dari segi pemasaran tetapi juga secara cinematografi karena tidak bersifat menggurui. Para audiens dianggap dewasa untuk bisa memilah dan memilih unsur-unsur fakta dan fiktif yang ditampilkan dalam bentuk film.

Beruntunglah menteri pendidikan melarang anak usia SD dan SMP  menonton film Penghianatan G30S/PKI. Kalau mentah-mentah ditampilkan, film ini akan punya pesan yang berbeda bagi anak-anak usia dini. Bagi mereka, sulit membedakan film sejarah tersebut dari film bergenre slayer semisal Texas Chainsaw Massacre atau Michael Myers Halloween. 

Begitulah pengalaman menonton film malam itu yang memampukan saya memahami maksud Bapak Jokowi tercinta. Sayangnya, saya tidak penuh nonton karena di tengah film, saya diharuskan mengunjungi kamar kecil. Sehabis dari kamar kecil, telpon genggam saya menyampaikan sekilas info: pertama, himbauan untuk menghindari jalan di depan gedung MPR/DPR; kedua, gugatan Setyo Novanto dimenangkan dalam sidang praperadilan. Saya memasuki kembali gedung pertunjukan. Kegelapanpun menyambut diri ini, dan berlanjutlah adegan-adegan film Pengabdi Setan

Bumi Batavia, 29 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun