Guy Ritchie dan legenda raja Arthur adalah dua dunia yang berbeda. Yang pertama dikenal sebagai sutradara film-film "preman" Inggris (Lock, Stock and Two Smoking Barrels; Snatch;  Sherlock Holmes 1&2); yang kedua dipenuhi oleh aura magis (tokoh Merlin, pedang keramat Excalibur) dan kesungguhan serta kesucian Arthur dalam membela kebebasan dan keteraturan kerajaan Inggris. Bisakah legenda suci ditampilkan dalam sebuah film bergaya gangster? Inilah tantangan yang hendak dijawab Guy Ritchie dalam film terbarunya King Arthur: Legend of The Sword.Â
Dalam jagad perfilman, upaya mengisahkan kembali sebuah cerita atau legenda suci dalam bahasa kontemporer sudah sering terjadi. Kita ingat, film musikal Jesus Christ Superstar juga coba menjawab tantangan yang sama, yaitu membahasakan kembali kisah nabi Isa dalam idiom-idiom yang dapat dipahami oleh generasi '70-an yang terkenal dengan sebutan the flower generation. Hasilnya, sebuah film spektakuler yang tidak saja mendapat pengakuan para kritikus seni tetapi juga membuat kisah nabi Isa lebih mudah dipahami oleh kaum muda yang saat itu sedang getol berdemonstrasi menentang perang. Bagaimana dengan King Arthur buah tangan kreatif terbaru Guy Ritchie ini? Berhasilkah film ini membumikan legenda King Arthur yang berusia ribuan tahun bagi masyarakat kontemporer?
Secara garis besar, film King Arthur dapat dilihat menurut skema dua kutub yang bertentangan: kutub yang satu adalah kutub kekuasaan dan kutub lainnya adalah kutub keadilan. Kisah dapat dimulai dengan sebuah pertanyaan: apa yang akan terjadi kalau seseorang terobsesi akan kekuasaan? Jawabannya: ia akan mengejar kekuasaan itu dengan mengorbankan segalanya. Inilah yang dilakukan oleh Vortigern (Jude Law). Iri akan kekuasaan sang kakak, raja Uther (Eric Bana), bapak Arthur kecil, Vortigern bersukutu dengan penyihir gelap, Mordred (Rob Knighton) untuk merebut kekuasaan sang kakak dan memecah belah manusia dan penyihir yang selama ini hidup rukun dan damai. Setelah upaya pertama merebut kekuasaan gagal karena Uther berhasil membunuh Mordred, Vortigern mengambil langkah lainnya: bersekutu dengan Syren, alias monster air berwujud perempuan. Monster ini menjanjikan kekuatan tiada tara kepada Vortigern asal ia bersedia mengorbankan seseorang yang paling dicintainya. Dengan air mata berlinang, ia pun menggiring sang istri ke sungai bawah tanah dan menikamnya di sana. Matinya sang istri melahirkan sebentuk monster bewajah tengkorak. Monster inilah yang mengejar dan membunuh kedua orang tua Arthur kecil yang dapat selamat berkat sampan yang dilarung sang ayah sebelum wafatnya.Â
Singkat kata, Vortigern yang tidak lain adalah om dari Arthur, mengorbankan segalanya untuk meraih kekuasaan: ia mengorbankan terang batinnya untuk bersekutu dengan kegelapan; ia mengorbankan persaudaraan dan persatuan antara manusia dan penyihir untuk melahirkan kebencian dan perpecahan yang melancarkan upayanya berkuasa; ia mengorbankan istrinya, kakak kandungnya, kakak iparnya untuk dapat naik tahta; dan ia mengorbankan rasa cinta rakyat yang dipimpinnya agar ia ditakuti dan dengan demikian mudah menguasai. Vortigern, dalam film King Arthur, adalah wajah mereka yang haus akan kekuasaan.
Di hadapan kekuasaan, tampil keadilan yang menemukan figurnya dalam diri Arthur (Charlie Hunnam). Diselamatkan oleh para pelacur, dibesarkan oleh mereka, dididik oleh jalanan, Arthur tumbuh menjadi pribadi yang cerdik, pandai bela diri, a-politik, tetapi begitu setia melindungi para pelacur yang telah membesarkannya. Dalam diri Arthur dan lingkarannyalah, kita menemukan anti-tesis dari Vortigern: kalau orang yang haus kekuasaan mengorbankan pihak lain demi ambisinya, orang yang mencari keadilan bersedia mengorbankan dirinya untuk kebahagiaan orang lain. Ketika Arthur hendak lari dari panggilannya untuk mengalahkan Vortigern, dewi danau yang menjaga pedang Excalibur memperlihatkan padanya apa yang akan terjadi jika Vortigern berhasil berkuasa secara mutlak: kegelapan dan penderitaan akan merajai seluruh wilayah Inggris. Maka, Arthur, yang berhasil mencabut pedang Excalibur dari batu danau dan dengan demikian mewartakan dirinya sebagai keturunan dari raja yang sah, tampil berhadapan dengan Vortigern. Bukan karena dendam atau ambisi pribadi, tetapi demi keselamatan rakyat Inggris.
Pertarungan dua kutub tadi, kekuasaan dan keadilan, tersaji secara menarik berkat tangan kreatif Ritchie. Kelihaiannya menggunakan medium perfilman menghindarkan kita dari ceramah moral tentang siapa salah siapa benar. Sebaliknya, kita akan hanyut dalam gaya penceritaan yang menjadi trade mark Ritchie selama ini: tidak bertele-tele, cepat, suka menggunakan flash back dan tidak pernah lepas dari suasana humor. Oh ya, jangan dilupakan juga iringan musik yang menyelip di sana-sini.Â
Sebagai contoh: daripada membanjiri layar dengan kata-kata untuk mengisahkan perbedaan Vortigern yang berhasil naik tahta dengan tahap-tahap perkembangan Arthur di rumah bordil dan jalanan, Ritchie menyajikan secara cepat, kilasan-kilasan suasana dan kejadian di istana dan di jalanan secara bergantian.
Akhir kata, film King Arthur: Legend of The Sword adalah sebuah pengisahan kontemporer yang memikat atas legenda raja Arthur. Durasi dua jam akan berlalu tanpa terasa. Di akhir film, kita dapat bertanya: apakah selamanya kekuasaan itu kejam, apakah selamanya ia datang untuk menghantam (nyontek syairnya Iwan Fals)? Jawabannya: tidak. Di akhir film, Arthur jadi raja. Dengan pedang Excalibur di tangan, ia menggunakan kekuasaannya untuk menciptakan keadilan.Â
Bumi Batavia, 12 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H