[caption id="attachment_321895" align="aligncenter" width="624" caption="Adi Rukun dan Joshua Oppenheimer di Festival Film Venesia (sumber: Kompas.com)"][/caption]
Satu berita tak terduga terbaca di Kompas.com pagi ini: sutradara kelahiran Texas, Joshua Oppenheimer, kembali melahirkan sebuah film dokumenter seputar pembunuhan massal paska prahara politik Indonesia yang dikenal sebagai G30S. Film berjudul The Look of Silence ini ditayangkan untuk pertama kalinya dalam perhelatan film internasional di Venezia pada hari Kami 28 Agustus yang lalu. Pengamat film dari The Guardian, Peter Bradshaw, menilai film dokumenter kedua dari sutradara muda berusia 40 tahun ini "tak kalah mencekamnya" dari yang pertama, The Act of Killing.
Tokoh utama The Look of Silence adalah Adi Rukun. Pada masa-masa kegelapan tahun '65, Ramli, kakak kandung Adi, ditangkap, dipenjara, lalu, bersama ratusan tahanan lainnya, dibantai dan dikuburkan secara massal di satu perkebunan di Sumatera Utara. Sebagaimana dituturkan sang sutradara dalam jumpa pers di Venezia, The Look of Silence mengisahkan pengembaraan Adi Rukun yang berupaya memahami misteri pembunuhan kakak kandungnya itu. Pengembaraan tersebut membawa Adi berjumpa dan berbicara dengan beragam tokoh yang terlibat langsung dalam sejarah kelam itu. Berkat rangkaian perjumpaan dan komunikasi tersebut, Adi berhasil mengumpulkan potongan-potongan fakta yang kemudian disandingkannya pasang demi pasang hingga membentuk satu pemahaman yang kurang lebih utuh. Adi, yang berprofesi sebagai ahli mata, mulai dapat melihat alias mengerti "jeritan" keluarganya sendiri dan ribuan keluarga korban lainnya yang sampai detik ini masih tinggal dalam kebisuan.
Bagaimana dinginnya siraman kesadaran sejarah yang diguyurkan oleh film dokumenter ini masih harus kita tunggu. Namun demikian, beberapa butir penting sudah dapat kita tarik berkat cuplikan informasi yang datang dari beragam sumber.
Butir yang pertama, menyangkut Adi Rukun, tokoh utama dalam film dokumenter ini. Sebagaimana dipaparkan Joshua dalam konferensi persnya, Adi adalah wakil sebuah generasi yang sama sekali tak bersentuhan langsung dengan tragedi '65. Sewaktu Ramli, kakak kandungnya, diseret dari penjara bersama ratusan tahanan lainnya dan digorok lalu jenazahnya dipendam di sebuah perkebunan, Adi Rukun belum lagi lahir ke dunia. Meski demikian, ia besar bersama sejarah pembantaian itu tanpa mengerti maknanya sebab tiada seorang pun berani membicarakannya secara terbuka, juga bapak dan ibunya. Semua penduduk kampung tahu kisah tragis kakaknya tapi tiada seorang pun yang mau berbagi ingatan dengannya.
Sejarah, dengan demikian, hadir seperti hantu: keberadaannya dapat dirasakan tetapi sekaligus sulit dibuktikan. Bukankah Adi Rukun merupakan perwakilan dari sekian banyak generasi muda yang akal kritisnya terputus dengan sejarah kelam '65? Berapa banyak dari kita, kompasianer, yang bersinggungan langsung dengan peristiwa '65? Berapa banyak dari kita yang mampu melawan 'mitos' bahwa komunis itu 'setan,' 'jahat,' 'penghisap darah,'? Adi berani menyibak selubung mitos komunis yang dibentuk oleh penguasa resmi. Ia sendiri telah berjumpa dengan para pembantai kakaknya dan keluarga mereka. Ia temukan bahwa mitos itu masih kukuh dipeluk karena mereka semua bercerita tentang pembantaian itu dengan rasa bangga.
Butir yang kedua, menyangkut sang sutradara. Pertanyaan yang mengganggu saya adalah ini: mengapa harus orang dari Texas yang begitu peduli dan dua kali berturut-turut membuat film dokumenter tentang potongan sejarah kelam ini? Apakah kalau tidak ada sutradara dari mancanegara lantas kepingan sejarah ini dibiarkan terkulai tak tersentuh di sudut kesadaran sampai akhirnya terkubur debu waktu? Kenyataan ini melahirkan sebuah dugaan: jangan-jangan bagian ini memang masih haram untuk diotak-atik. Mengapa? Ada dua dugaan: yang pertama, masih ada pihak-pihak yang ingin mengail keuntungan dari kekeruhan sejarah. Ambil contoh: bagaimana bisa menggunakan amunisi fitnah 'komunis' dalam pertarungan politik kalau duduk perkara tentang sejauh mana peran PKI dalam gonjang-ganjing prahara politik '65 menjadi terang benderang? Dengan demikian, semakin abadilah ungkapan ini: ketika aku memberi nasi pada orang miskin, mereka menyebutku orang kudus; tetapi ketika aku menggugat mereka yang merebut nasi dari orang miskin, mereka menyebutku komunis.
Dugaan kedua: seperti diungkapkan Joshua, masih tabunya masalah komunisme dalam perbincangan umum menunjukkan dua jenis ketakutan dalam diri mereka yang terlibat atau bersinggungan dengan sejarah '65. Ketakutan pertama adalah ketakutan untuk mengakui perannya dalam sejarah kelam itu (takut untuk dimintai pertanggungan jawab dan mungkin juga takut menerima balas dendam) dan ketakutan kedua adalah ketakutan untuk berhadapan dengan diri sendiri. Dalam hal ini, saya teringat gugatan Jean Valjean, tokoh dalam drama musikal Les Misrables, yang hendak lari dari kenyataan bahwa dirinya adalah residevis, pelarian, sementara polisi berhasil menangkap orang lain yang mirip dengan dirinya. Valjean, yang sekarang menjadi pejabat kota dan pemilik sebuah pabrik dengan ribuan pekerja, mempertimbangkan untuk membiarkan polisi menangkap 'Valjean' palsu hingga dirinya bebas dari beban masa lalu. Tetapi dia pun bertanya pada diri sendiri: If I speak I am condamned. If I stay silent I am damned... Mengakui kesalahan berarti dihukum di depan pengadilan manusia, tetapi tinggal diam dalam kesalahan berarti dikutuk di depan pengadilan Tuhan.
Butir terakhir (alert spoiler): film dokumenter Joshua kali ini tidak sepenuhnya berisi kegelapan sejarah. Ia juga mewartakan setitik cahaya masa depan yang memberitakan harapan. Fajar harapan itu tampak dalam adegan ketika seorang putri dari pelaku pembantaian meminta maaf pada Adi Rukun. Meski bukan pelaku langsung, sang putri mengakui kesalahan pihak keluarganya, yaitu bapaknya, yang ikut andil dalam pembunuhan Ramli, kakak kandung Adi. Ia pun meminta maaf. Sebuah model rekonsiliasi bagi seluruh bangsa. Saling mengakui bahwa tindak kekerasan yang dilakukan satu dan lain pihak bukanlah jalan yang benar untuk kemudian saling meminta dan memberi maaf.
Memaafkan, dengan demikian, bukan berarti menghapus kesalahan. Seperti pernah ditulis Gunawan Muhammad, memaafkan justru mempertegas adanya kesalahan. Kesalahan yang sudah dibuat tidak akan pernah dapat dihapus karena sudah menyatu dengan sejarah. Ia berada dalam kuasa waktu dan siapa dapat melawan waktu? Memaafkan berarti memulihkan kemanusiaan sebab memaafkan berarti mengatakan: engkau jauh lebih agung dari kesalahan yang telah kaubuat.
Ville de Lumière, Senin 1 September 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H