Mohon tunggu...
triantoro safaria
triantoro safaria Mohon Tunggu... -

An ordinary man with intention to find the right way to heaven.......Amiin

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ber-Agama Menurut Ilmu Psikologi: Debat Atas Tulisan Hitachi

27 April 2010   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:33 2512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Artikel ini saya buat dan dedikasikan (hehehe) untukmengcounter tulisan saudara Hitachi,yang berjudul “Ber-Agama Menurut Ilmu Psikologi”. Setelah membaca dan memahami isi dari copy paste tulisan saudara Hitachi yang diambilnya dari sdr Hireka, maka saya mencoba untuk sedikit saja menjawab, (merunut pengetahuan saya yang sedikit saja tentang psikologi), beberapa tesis atau proposisi dasar dari tulisan copasnya Hitachi tersebut(produk jepun nih…kenapa tidak Sony dan Ericson saja…hehehe).

Hitachi dalam tulisannya mengatakan Ada dua pertanyaan penting yang tidak diketahui oleh umum. Pertama, Dampak-Agama menurut Ilmu Psikologi itu apa ? Kedua, Orang ber-agama menurut ilmu psikologi: jiwa-nya Normal atau GILA ?.

Saya akan menjawab pertanyaan yang pertama dulu, apa dampak agama menurut ilmu psikologi??? Negative kah atau positif ???. Saya akan mengambil satu saja hasil penelitian metanalisis dari Basak Çoruh, Hana Ayele, Meredith Pugh kesemuanya dari Medical Center and Virginia Commonwealth University Medical Center, Richmond, dan Thomas Mulligan dari Medical Center and University of Florida, Gainesville berjudulDOES RELIGIOUS ACTIVITY IMPROVE HEALTH OUTCOMES? A CRITICAL REVIEW OF THE RECENT LITERATURE, EXPLORE JOURNAL, May 2005, Vol. 1, No. 3, Elsevier Inc. Printed in the United States. (Terjemahannya: Apakah Aktivitas Religious Meningkatkan Kesehatan? Sebuah Review Kritis Terhadap Literature Terkini)

Mereka melakukanpengumpulan komprehensif dari berbagai literature dan penelitianmenggunakanMEDLINE (sebuah situs pencarian jurnal ilmiah on-line high impact bergengsi untuk dunia kedokteran dan psikologi)yang dipublikasikandalam bahasa Inggris dari bulan January 1999 hingga Juni 2003 yangmengambarkanefek agamaterhadap kesehatan. Dalam pencariannya mereka mengunakan kata kunci seperti the medical subject headings (MeSH) of religion; religion AND medicine; religion OR intercessory prayer; prayer; prayer therapy; religious rites; faith; medicine, traditional; religiosity; religion AND psychology; and religion AND health

Hasil dari review kritis mereka menemukan bahwa intervensi religius seperti berdoa atau didoakan meningkatkanangka kesuksesan in vitro fertilisasi, menurunkan lamanya dirawat di hospital dan menurunkan durasi demam di septic pasien, meningkatkan fungsi immune tubuh, memperbaiki kesembuhan rheumatoid arthritis, dan menurunkan kecemasan. Selain itu frekuensi mengunjungi tempat ibadah meningkatkan perilaku sehat individu. Selain itu, berdoajuga dapat menurunkan efek buruk pada pasien dengan gangguan jantung. Kesimpulan mereka adalah religious activity improve health outcomes, some researchers suggest a possible mechanism via psychoneuroendocrinology, eg, diminished stress-hormone secretion.. Orang yang mengamalkan agamanya akan menciptakan rasa tenang dalam jiwanya, oleh karena rasa tenang ini secara langsung akan menurunkan stress yang secara psychoneuroendocrinology berarti hilangnya sekresi hormone stress dalam tubuh individu. Hormon stress tersebut seperti adrenalin, noradrenalin, dan cortisol. Inilah jawaban atas pertanyaanapa dampak agama menurut psikologi, tentunya positif.

Kemudian saya mencoba untuk menjawab sedikit saja pertanyaan kedua, Orang ber-agama menurut ilmu psikologi: jiwa-nya Normal atau GILA ?. Normal dan Abnormal tentu ada kriterianya. Saya pernah membuat tulisan tentang kriteria dari abnormal ini, di artikel “Benarkah Susno Sakit Jiwa??”.Akan saya copas saja, bersumber dari DSM IV (Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders) dari American Psychiatric Association tahun 2000. Menurut DSM IV ini individu bisa disimpulkan mengalami gangguan jiwa jika menunjukkan 6 kriteria di bawah ini.

1. Distress-disability. Jika individu menunjukan gejala distress berat seperti tekanan emosional berat, yang menyebabkannya tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya yang biasanya mampu dilakukannya. Seperti tidak mampu memenuhi tanggaungjawabnya sebagai seorang ayah dari anak-anaknya, seorang suami atau bahkan seorang karyawan di perusahaan. Coba kita lihat disekeliling kita bandingkan antara orang yang religious dengan tidak, apakah ada perbedaannya??? Apakah dengan menjalankan agamanya mereka menajdi distress, tertekan, sehingga menganggu keberfungsiannya sehari-hari…???

2. Maladaptiveness. Jika individu menunjukkan ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri secara normal dalam setiap aspek kehidupannya. Betulkan orang yang menjalankan agamanya secara benar, terlihat tidak mampu menyesuaikan diri???. Coba lihat sekeliling kita, tetangga atau rekan kerja, pasti menemukan jawabannya.

3. Irrationality. Jika individu menunjukkan pemikiran, pengambilan keputusan dan tindakan yang irasional, tidak bisa diterima dengan pertimbangan akal dan logika. Apakah orang yang mengamalkan agamanya sering melakukan tindakan irasional atau mengambil keputusan irasional secara umumnya. Coba kita lihat disekeliling kita adakah beragama menjadikan orang irasional secara umumnya???.

4. Unpredictability. Jika kita tidak bisa memprediksikan pola pikir dan tindakan individu yang secara tiba-tiba bisa berubah 180 derajat, dan menunjukkan ketidakstabilan dalam segala hal seperti emosi, kognisi, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-harinya. Sekarang bilang A, esok bilang B, berubah-ubah dalam setiap menit atau jamnya. Benarkah orang yang menjalankan agamanya perilakunya sulit dipahami pada umumnya??? Coba lihat sekeliling kita sekali lagi???.

5. Unconventionality and Statistical rarity. Menunjukkan tindakan dan keadaan yang di luar rata-rata atau seumumnya. Misalnya jika rata-rata orang berbicara seperlunya, tetapi individu terus saja berbicara tidak mengenal tempat dan waktu.  Seperti gelandangan sakit jiwa yang mengoceh di pinggir jalan pada orang yang lalu lalang di depannya. Adakah orang yang menjalankan agamanya secara baik menunjukkan tanda-tanda ini pada umumnya???

6. Observer discomfort. Jika kita dapat melihat bahwa individu menunjukkan ketidaknyamanan, distress dan tekanan psikologis secara nyata. Apakah orang berdoa, menyebabkan menjadi ia menjadi resah dan gelisah??? Atau sebaliknya membuatnya semakin tenang dan kuat menghadapi cobaan hidup???.

7. Violation of moral and standards. Jika tindakan individu telah melanggar nilai-nilai moral dan hukum. Individu melakukannya tanpa rasa bersalah dan menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar, dengan berbagai alasan rasionalisasi yang tidak logis. Secara umumnya, apakah kebanyakan orang yang menjalankan agamanya secara benar, sering bertindak melanggar moral dan hukum??? Dalam artian beragam bukan sekedar KTP dan topeng lhooo???.

Selanjutnya apakah betul “secara umum pandangan Ilmu Psikologi terhadap ber-agama, didasarkan dari pandangan Sigmund Freud, yang menyatakan bahwa orang ber-agama mengalami gangguan kejiwaan, delusi, mengkhayalkan sesuatu yang tidak ada”. Jawaban saya Ilmu Psikologi tidak secara umum di dasarkan pada teoriFreud, karena ada tiga mahzab besar dalam Psikologi yaitu Psikoanalisa yang didalamnya pun terdapat banyak aliran yang justru menolak banyak teori Freud seperti C.G Jung dengan psikoanalitik-nya, Karen Horney, Erikson, Alfred Adler, dll. Mahzab kedua behavioristik tokoh utamanya Skinner, Watson, Bandura, Pavlov, dll, dan mahzab ketiga Humanistik dengan tokohnya Carls Rogers, Maslow, Victor Frankle, dll. Jadi pendapat yang mengatakan bahwa ilmu psikologi secara umum di dasarkan pada teori Freud dalam hal mengkaji perilaku beragama adalah salah dan menyesatkan.

Tentang penyamaan menjalankan ajaran agama dengan gangguan obsesif-kompulsifadalah salah dan menyesatkan. Sebagai contoh apakah berdoa dianggap sebagai gangguan obsesif-kompulsif??? Jelas sangat jauh berbeda, dan sememangnya tidak bisa disamakan.

Gangguan obsesif-kompulsif merujuk pada dua kata yaitu obsesif dan kompulsif. Obsesif adalah adanya pikiran dan ide-ide yang menganggu, menimbulkanperasaan tidak nyaman, distresdan menyebabkan proses berpikir menjaditeralihkan, sehinggaindividu berusaha untuk menghilangkannya dari pikirannya.Lalu apakah ide untuk berdoa menyebabkan orang menjadi resah, takut dan terus-menerus menganggunya??? Dan ia ingin menghilangkan ide-ide atau pikiran untuk berdoa tersebut???

Sedangkan kompulsifberupa tindakan atau perilakuberulang yang secara rigid, teratur dan disiplin dilakukan secaraterus-menerus, bersifatmenetap sehingga menjadi ritual-ritualyangtidak bertujuan, tidak realistis, tidak efisien dan efektif.Lalu apakah berdoa dianggap sebagai perbuatan yang sia-sia dan tidak realistis??? Apakah orang secara sengaja bisa menghentikan kegiatan berdoa??? Tentu saja jawabannya bisa, karena banyak juga orang-orang yang enggan untuk berdoa, sehingga tidak melakukannya. Pada hal jika merujuk pada definisi gangguan kompulsif maka kegiatan berdoa sebagai sebuah ritual tidak bisa dihentikan, karena bersifat menetap. Kenyatannya banyak orang yang malas berdoa dan shalat???.

Sedangkan ciri utama lainnya adalah tindakan ritualistik individudilakukannya untuk menghilangkan perasaan cemas, takut dan ragu-ragu yang mendalam, atau untukmeredakan pikiran obsesionalnya. Bagamana orang yang tidak pernah shalat??? Kebanyakan biasa saja, bahkan mereka terlihat santai jika kita melihat secara kasat mata. Apakah kemudian mereka meras acemas karena tidak melakukan shalat, pada hal mereka mengakui Tuhan itu ada dan ber-agama juga.

Selanjutnya, benarkah sifat dasar dari agama hanya berkomunikasi vertikal satu-arah (one-way communication). Komunikasi dari manusia KEPADA Tuhan, dan bukan sebaliknya???.Sebenarnya Tuhan pun berkomunikasi kepada manusia dalam banyak kejadian di kehidupannya, tentu orang beragama pernah mengalami kejadian dimana Tuhan menegurnya, menyapanya dan memberikan makna disebalik kejadian hidupnya. Ber-agama juga bukan melulu hanya berbuat baik dan berkomunikasi pada Tuhan, tetapi berbuat baik dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Adakah diantara kita yang beragama, tidak pernah berkomunikasi dan berbuat baik pada orang lain??? Teman, rekan kerja, istri, suami, kakak, adik, abang, dan tetangga??? Prasangka muncul akibat kesalahan manusia itu sendiri, karena sebenarnya agama mengajarkan manusia untuk berprasangka baik terhadap orang lain, jangan su’uzon lah.

Lalu dalam artikel Hitachi menegaskan bahwa menarik untuk mengkaji secara fakta-empiris, perbandingan antara kualitas-kehidupan masyarakat di negara-negara beragama seperti Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Afganistan, Iran, Irak, dengan masyarakat di Jepang, Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, dan China. Tentu hal ini adalahgeneralisasi yang salah. Penelitian yang saya rujuk di atas berasal dari kajian masyarakat di Amerika dan daratan Eropa.Yang membuktikan bahwa bagi masyarakat Amerika, Inggris dan Eropa yang mengamalkan agamanya justru mendapatkan hasil yang positif, bukan sebaliknya menjadi gila. Apakah semua rakyat Amerika dan Eropa tidak religius dan tidak beragama???. Tentu tidak. Banyak juga yang beragama dan rajin mengamalkan agamanya.

Kesimpulan:

Menurut Ilmu Psikologi: Orang ber-agama jiwanya justu lebih sehat, bahagia dan normal alias TIDAK GILA. Jadi sebenarnya siapa yang GILA di sini??? Orang yang BERAGAMA atau……..????

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun