Mohon tunggu...
Triani Retno
Triani Retno Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan editor lepas. Sejak tahun 2006 telah menghasilkan lebih dari 25 buku solo. takhanyanovel.blogspot.com | Twitter: @retnoteera.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Penulis dan Bahasa Alay

3 September 2012   00:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semasa kuliah S1 (1993-1998), teman-teman sekelas sering menjadikan catatan saya sebagai “referensi”. Saya rajin kuliah dan IPK saya bagus. Saya tidak mencatat setiap patah kata yang keluar dari mulut dosen, melainkan hanya yang saya anggap penting. Namun, saya selalu melengkapi catatan itu dengan informasi dari buku referensi kuliah atau buku lain yang saya baca di perpustakaan.

Seharusnya teman-teman saya senang bisa memotokopi catatan yang lengkap seperti itu. Ah, tunggu dulu. Mereka justru sering protes keras. Apa pasal? Sederhana. Catatan saya penuh singkatan.

Beberapa singkatan mudah dimengerti, seperti: dpt (dapat), krn (karena), bgmn (bagaimana), dan angka 2 (dua) untuk kata ulang. Akan tetapi, beberapa singkatan lain membuat mereka pusing. Misalnya: u/ (untuk), a/ (atau), b/ (sebelum; dari kata before), c/ (seperti), o/ (oleh), b’ (untuk awalan ber- ), m’ (untuk awalan me-, menge-, mem-, men-), t’ (untuk awalan ter- ), dan sebagainya. Remaja sekarang mungkin mengatakan catatan kuliah saya itu alay.

Satu hal yang selalu saya pegang, saya menggunakan kalimat bertabur singkatan itu hanya untuk catatan kuliah. Catatan yang untuk saya baca sendiri, saya konsumsi sendiri. Untuk menjawab soal-soal ujian, membuat makalah, menulis skripsi, serta menulis cerpen dan artikel saya menggunakan bahasa Indonesia yang baik tanpa singkatan.

***

Sayangnya, saat ini banyak yang tak memegang “aturan” itu. Kalimat dengan kata-kata yang disingkatdanbahkan alaydigunakan kapan saja, di mana saja, ditujukan pada siapa saja.

Kata-kata alay tidak sama dengan kata-kata yang disingkat. Penyingkatan kata tentu saja supaya dapat menulis kata yang panjang dengan lebih sedikit huruf. Alasannya, agar cepat (ketika mencatat) dan hemat (ketika mengirim sms).

Bagaimana dengan kata-kata berbahasa alay? Kata-kata ini tak selalu disingkat. Sering terjadi, bahkan lebih panjang daripada aslinya. Misalnya:

- aquwh (lima huruf) vs aku (tiga huruf)

- chaiiiankh (sepuluh huruf) vs sayang (enam huruf)

- chellalloegh (dua belas huruf) vs selalu (enam huruf)

Sebagai penulis yang sering menulis cerpen dan novel remaja, saya sering bertemu remaja berbahasa alay. Bagi saya pribadi tak masalah, sepanjang dia adalah pembaca. Tak apa berkomentar dengan bahasa alay, akan saya tanggapi dengan baik (dalam bahasa Indonesia yang benar). Saya justru belajar mengerti bahasa alay dari mereka. Dalam sebuah workshop editing, saya bahkan mendapat hadiah gara-gara berhasil menerjemahkan kalimat berbahasa alay ke dalam bahasa Indonesia.

Lain cerita jika berhadapan dengan orang yang mengatakan ingin menjadi penulis tapi menyatakan keinginannya dalam bahasa alay level lanjut.

[caption id="attachment_203582" align="aligncenter" width="300" caption="Bahasa alay tingkat dasar (versi saya), hanya memadukan huruf besar-kecil dan angka. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi Triani Retno A)"][/caption]

[caption id="attachment_203583" align="aligncenter" width="300" caption="Bahasa Alay tingkat lanjut (versi saya). Memadukan huruf besar-kecil-angka-simbol-tanda baca tanpa pakem jelas (Sumber foto: Dokumentasi pribadi Triani Retno A)"]

1346630850117041453
1346630850117041453
[/caption] [caption id="attachment_203584" align="aligncenter" width="300" caption="Beginilah jika bahasa alay di atas "]
13466310531951653005
13466310531951653005
[/caption]

Kredibilitas dan kesungguhan seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakannya. Akan sulit meyakinkan orang lain bahwa ia serius ingin menulis—apalagi menjadi penulis—jika ia selalu menulis dalam bahasa alay.

Di grup saya di Facebook (Grup Curhat Calon Penulis Beken. Nama ini saya ambil dari salah satu judul buku saya, 25 Curhat Calon Penulis beken), saya menetapkan peraturan No Alay. Bagi saya, salah satu pelajaran dasar untuk menjadi penulis adalah membiasakan diri menulis dengan menggunakan bahasa yang benar tanpa alay. Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa.

[caption id="attachment_203587" align="aligncenter" width="600" caption="Grup "]

134663154956526080
134663154956526080
[/caption]

Bukan tanpa alasan. Saya sering menemukan naskah (karena saya juga editor) yang menggunakan kata-kata berbahasa alay. Ketika ditegur, mereka beralasan, “Kebiasaan, sih.”

Teman-teman saya yang berprofesi sebagai editor pun pernah mengatakan mereka sering harus menolak naskah hanya gara-gara banyak menggunakan bahasa alay dalam narasi (dalam adegan ber-sms atau chatting masih ditoleransi).

Naskah-naskah yang diikutkan dalam lomba menulis pun banyak yang gugur di tahap awal gara-gara bahasa alay ini. Si penulis mungkin tak bermaksud menulis naskah dalam bahasa alay, tetapi jadi tertulis alay karena terbiasa seperti itu.

Apakah saya anti bahasa alay? Bisa ya, bisa tidak.

Jika sungguh-sungguh ingin menjadi penulis, biasakanlah untuk tidak menulis dalam bahasa alay. Menuangkan pikiran dan imajinasi dalam bentuk tertulis akan lebih mudah jika menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan salah! Bahasa Indonesia yang baik dan benar itu pun bisa luwes, gaul, dan enak dibaca, lho.

Sebaliknya, silakan gunakan bahasa alay untuk:

1.Menulis di buku harian. Orang akan enggan mengintip dan mencuri baca rahasia kita. Namun, hati-hati. Jangan sampai kebiasaan ini terbawa ke mana-mana.

2.Password (e-mail, Facebook, Twitter, blog, dan sebagainya). Bahasa alay level lanjut yang mengombinasikan huruf besar, huruf kecil, tanda baca, simbol-simbol, serta ejaan baru dan lama secara sesuka hati akan sulit dijebol oleh hacker. Password seperti ini akan langsung mendapat verifikasi “sangat kuat”. Jangan lupa, catat password itu dan simpan di tempat yang aman. Tak adanya aturan baku dalam bahasa alay membuat password ini sulit diingat.

***

Oya, bagaimana dengan teman-teman kuliah saya yang protes meminjam catatan saya? Apakah mereka jera? Hehe… tidak, tuh. Catatan saya tetap dianggap sumber yang patut dipercaya. Namun, saya dipaksa membuat “Panduan Memahami Catatan Eno”.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun