Siang itu dia ingin rebahkan badan sebentar. Qailullah namanya, kebiasaan yang dia dapatkan sejak di pesantren dulu. Ini juga salah satu rahasia utamanya sehingga kuat belajar lama hingga larut malam.
Pikirannya agak tertekan kali ini, sebab persediaan dana sudah menipis. Kiriman honor tulisannya yang lebih bisa diprediksi daripada kecepatan birokrasi negaranya dalam mengurus pencairan dana beasiswa.
***
Dia masih berpikir atas permasalahan kemarin. Apa pasal? Hujan mengguyur deras tiba-tiba ba'da sholat ashar. Rumahnya bocor tanpa ada persiapan yang mengakibatkan anak dan istrinya kewalahan menyelamatkan dari tetesan hujan yang jika dibiarkan bikin banjir juga.
Itu juga yang menyebabkan dia meliburkan ngaji sore anak-anak yang biasa diadakannya, semata-mata karena dia harus naik genteng, mengambil langkah gesit membetulkan posisi genteng yang bergeser dan menutup sementara bagian yang bocor dengan vinyl spanduk bekas hari Isra' Mi'raj tahun lalu.
"Alhamdulillah kalau gitu. Anak saya jadi nonton teve terus kalo sore nggak ngaji," kata salah satu orangtua santrinya yang bertanya tadi.
"Iya maaf, Bu. Kemarin terpaksa saya liburkan, karena rumah saya bocor. Terpaksa saya langsung pulang. Di rumah nggak ada yang bisa benerin kalo bukan saya." Udin memberikan cerita berharap pemakluman.
"Iya tidak apa-apa Pak Udin. Saya khawatir kalo kelamaan libur, anak-anak biasanya males mau mulai lagi. Kalau sudah gitu, ngajinya yang masih separuh bisa buntung di tengah jalan. Masak saya nggak bisa ngaji, diterus-terusin anaknya juga. Hehe..."
Udin membalas senyum Bu Darmi yang sambil berlalu pulang setelah olahraga jalan nyeker keliling kampung. Orang tua kampung Durian memang terbiasa jalan kaki di pagi hari sebagai olahraga dan terapi rutin untuk menghindari penyakit tua. Itu yang meraka yakini.
Udin juga terus memikirkan metode apa lagi yang akan dia terapkan kepada santri mengajinya di Surau. Kalau untuk Si Banu agak ringan, dia tergolong murid yang cerdas, sekali dibacakan selembar halaman Iqro' dia langsung bisa mengulangi dengan baik, meski masih ada sedikit kesalahan. Tinggal di darus lagi lebih sering.
Beda dengan Si Umar, diulang-ulang tiga kali pun, dia masih kesulitan kalau harus dilepas membaca tanpa pengawalan. Kerja keras betul tampaknya Umar ini untuk menyelesaikan satu halaman saja mulai dari pojok kanan atas hingga pojok kiri bawah. Pernah dicobanya menggunakan metode cerita atau bermain, tetap saja susah buat Umar untuk bisa lancar mengenali susunan huruf hijaiyah.