Kepada kaum intelektual,
di tempat.
Tolong, tolong jangan lagi berpikiran membawa perubahan dengan mengeluarkan kebijakan melalui kacamata kita (kaum intelektual) yang seolah-olah mampu menjadikan negeri ini lebih baik. Selain menggunakan kacamata kita, yang harus dilakukan adalah melihat dari kacamata mereka (yang akan menerima efek kebijakan tersebut). Ingat! Jika Indonesia ini adalah lembaran kertas putih, kita tidak bisa seenaknya dalam menorehkan tinta di atasnya, melainkan harus ijin pada pemilik kertas putih tersebut, bukan pemerintah, melainkan rakyat yang berdiri di atasnya.
Sebagai contoh adalah ungkapan perasaan anak korban penggusuran di bawah ini. Yang diketahui adalah penggusuran ini membuahkan sebuah peternakan dengan tujuan mencapai cita-cita "turut membangun pertanian Indonesia yang tangguh" di mana ternak unggul hasil persilangan peternakan tersebut akan disalurkan ke peternak kecil di berbagai daerah di bawah naungan suatu program yang dikenal sebagai bantuan Presiden (BanPres). Banyak tamu luar negeri yang didatangkan ke tempat ini. Ini pula yang menjadi salah satu awal kisah impor sapi Australia masuk ke Indonesia, tentu bagi segelintir orang, ini menjadi hal yang membanggakan. Apa iya?
"Di saat hutanku dijarah oleh -------- usiaku baru 10, baru kelas 3 SD. Alhamdulillah aku termasuk murid ketiga terpandai... Pada waktu -------- merampas seluruh hutan milik warga Cibedug para orang tua kami kesulitan mencari nafkah di mana untuk membayar sekolah pun sangat sulit sehingga tidak heran ketika itu orang tuaku tidak sanggup membiayai sekolah kendatipun sangat murah tapi itulah nyatanya di mana aku tidak dapat lagi meneruskan sekolah. Dalam hatiku aku selalu bertanya inilah awal dari segala kegagalan. Aku cuma sekolah kelas tiga SD... Sebagai kompensasi aku lari ke Jakarta ikut tinggal bersama kakakku mengadu nasib ke Jakarta. Aku sering mengibaratkan hidupku tidak bedanya dengan bunga liar dan aku selalu bertanya untuk apa aku hidup/ hidupku untuk siapa? Di mana aku tidak merasa punya hak untuk menentukan cita-citaku jadi apa nanti? Aku sadar sekali... di mana aku merasa iri melihat orang seusiaku memakai seragam sekolah. saat berada di Jakarta... Sebetulnya aku pun ingin seperti yang lain punya gelar, dan hidupku jauh dari rasa minder. Aku baru sadar sepenuhnya kini bahwa aku dan ratusan anak seusiaku menjadi minder dan bodoh..."
Bisa jadi di balik terwujudnya mimpi negeri ini untuk misal tampak baik di mata negara-negera lain, justru ada banyak mimpi para generasi terbaiknya yang harus hancur. Bijak membuat kebijakan dari berbagai sudut pandang. Cari persamaan, bukan arogan. Semua demi kebaikan.
Sudah saatnya, ini diperbaiki.
Sudah saatnya Indonesia Berdikari: Berdiri di Atas Kaki Sendiri.
#Menuju2014 #SwasembadaDaging
Salam perjuangan,
Triana Winni.
Mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB
trianawinni@yahoo.com
@trianawinni
Reference: Merampas tanah rakyat: kasus Tapos dan Cimacan
Oleh Dianto Bachriadi, Anton E. Lucas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H