Belum lama ini, saya berdiskusi terkait suatu hal dengan seorang senior. Latar belakang kami memang berbeda, beliau sangat eksak dan saya sangat sosial. Cukup mengejutkan ketika senior saya tersebut, menyampaikan bahwa seolah-olah pertanyaan dan pemikiran-pemikiran yang saya punya itu salah. Padahal saya merasa bahwa tidak ada yang salah dengan pemikiran-pemikiran saya tersebut. Toh, pemikiran-pemikiran itu sesungguhnya berkembang dari pengalaman saya (empiris) dan bidang keilmuan yang saya dalami saat ini (teori).
Belakangan, saya mengetahui bahwa hal tersebut terjadi karena saya dan senior saya menggunakan dua paradigma berpikir yang berbeda: mekanik dan holistik. Oke guys, sebelumnya saya ingin menyampaikan bahwa ini menjadi penting untuk kita ketahui. Mengapa? Di akhir nanti, akan saya sampaikan alasannya.
Pertama, paradigma mekanik. Paradigma ini di satu sisi berhasil mengembangkan dunia sains sehingga mempermudah kehidupan manusia, namun di lain sisi mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri. Pendekatan persoalan melalui paradigma ini cenderung bersifat sebagian;
Yang kedua, paradigma holistik (Capra 1982) merupakan paradigma baru yg digunakan untuk mengembangkan teori, ilmu, pengetahuan, praktek dan pola fikir untuk memecahkan masalah kerusakan sumber daya dan pencemaran lingkungan yg meluas. Paradigma ini hadir sebab paradigma lama (Cartesian) dipandang tidak memadai lagi untuk menjawab berbagai tantangan dan persoalan yg dihadapi masyarakat modern.
Belum kebayang? Oke, misalnya penggunaan mesin alat bantu pertanian yang mampu memproduksi padi dalam jumlah banyak dan cepat. Secara kasat mata, penggunaan mesin ini dapat membantu dalam produksi maksimum, selain itu juga mengurangi biaya produksi (yang tadinya membutuhkan 5 tenaga kerja untuk menanam, menjadi tidak perlu lagi karena sudah digantikan mesin), dll. Ini adalah berpikir dengan menggunakan paradigma mekanik. Namun jika ditinjau secara lebih dalam, penggunaan mesin tersebut dapat menghilangkan mata pencaharian masyarakat (yang tadinya diperlukan 5 tenaga kerja, menjadi tidak perlu lagi), yang berimbas pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu, dampak terhadap lingkungan dari pekerja mesin juga akan berbeda dengan pekerja manusia. Dalam hal ini, teknologi menjadi tidak tepat guna, di mana notabene yang dibutuhkan adalah teknologi tepat guna. Nah, ini berpikir dengan paradigma holistik: menyeluruh.
Correct me, jika ada yang salah dalam tulisan ini, saya pun masih sangat harus banyak belajar. Hanya saja, yang saya ingin sampaikan bukanlah terkait mana paradigma yang benar dan mana yang salah. Saya meyakini bahwa paradigma-paradigma tersebut adalah benar jika dipakai dalam waktu dan kondisi yang tepat. Yang saya ingin sampaikan saat ini adalah terkait rasa saling memahami dan menghargai pemikiran, gagasan, ide, yang bermunculan. Perbedaan ada untuk melengkapi toh? Bisa jadi perbedaan-perbedaan yang ada adalah karena kita menggunakan sebuah pendekatan yang berbeda. Jika kita tidak memahami ini dengan baik, timbul rasa "merasa paling benar" dan perselisihan. Itulah mengapa ini menjadi penting untuk diketahui, yakni agar kita saling memahami dan menghargai satu sama lain.
So, yuk saling menghargai!
Karena walaupun berbeda-beda, kita tetap satu jua: Indonesia!! :D
@trianawinniÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H