Mohon tunggu...
Triana Winni
Triana Winni Mohon Tunggu... -

Bahagialah mereka yang merdeka dalam pemikiran | @trianawinni | triana.win@gmail.com | trianawinni.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

85 Tahun S(a/u)mpah Pemuda: Percaya pada Anak Bangsa #RebutMahakam

2 November 2013   19:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:40 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

85 Tahun S(a/u)mpah Pemuda:

Percaya pada Anak Bangsa #RebutMahakam


Pemimpin Merah Putih

Dapat dilihat semakin marak di televisi, kasus-kasus konflik lahan terjadi di beberapa daerah. Itupun bisa jadi hanya sebagian dari banyaknya kasus konflik lahan yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Alam dengan manusia memang kerap terhubung dalam relasi konfliktual. Di satu sisi, manusia terus melakukan pengerukan sumberdaya alam dalam rangka pertumbuhan ekonomi; di sisi lain, alam menjadi rusak karena hal tersebut. Hal ini juga mendukung Steady State Economy Theory yang menyatakan bahwa semakin bertumbuh ekonomi suatu negara, sebenarnya semakin miskin negara tersebut atas sumber daya alamnya.

Salah satu kasus misalnya yang saat ini sedang merebak di dunia maya adalah kasus  Blok Mahakam. Dr Kurtubi, Ugan Gandar, dan Marwan Batubara merupakan tiga di antara tokoh-tokoh nasional yang vokal bersuara untuk kembali menasionalisasi Blok Mahakam. Begitu pula halnya dengan berbagai elemen mahasiswa yang bergabung dalam aliansi-aliansi nasional juga lantang bersuara perihal kasus ini. Tanpa perlu adanya kesepakatan, #RebutMahakam sudah ramai menjadi hashtag bersama dalam media-media sosial.

Blok Mahakam sendiri telah dikelola lebih dari 50 tahun oleh Total E&P Indonesia. Pada awalnya, Blok Mahakam dikontrak oleh Total E&P Indonesia selama 30 tahun, yakni dari tahun 1967 – 1997. Setelah itu, diberi penambahan waktu 20tahun masa kontrak dari 1997 hingga tahun 2017.  Dr Kurtubi, Pengamat Perminyakan Indonesia, menyebutkan bahwa keuntungan dari produksi Blok Mahakam mencapai Rp 2 triliun tiap bulannya. Tak heran dengan angka keuntungan yang besar tersebut, perusahaan asal Prancis tersebut akan terus berupaya agar kontrak pengelolaannya diperpanjang. Tak hanya dari lamanya pengelolaan asing atas Blok Mahakam tersebut, kekecewaan atas Blok Mahakam juga datang dari adanya krisis ekologi akibat kegiatan pertambangan yang melanda daerah seputar sumur-sumur Blok Mahakam. Menurut Wahdiat, Ketua Aliansi Rakyat Kalimantan Timur untuk Blok Mahakam, yang ada di daerah tersebut hanyalah potret kemiskinan dan pembangunan stagnan yang sangat kontradiksi dengan mega proyek Blok Mahakam.

Blok Mahakam setidaknya merupakan salah satu contoh atas pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia yang sesungguhnya merupakan ajang pertarungan kepentingan berbagai pihak untuk akses, penguasaan, dan kontrol atas sumberdaya alam. Krisis ekologi yang timbul pun terjadi akibat ketidaksetaraan kekuasaan (power) di kalangan berbagai pihak yang terlibat dari kasus Blok Mahakam. Dominansi negara dan swasta atas masyarakat lokal yang pada akhirnya menjadikan masyarakat sebagai korban/ termarginalkan (tragedy of enclosure), menjadi salah satu indikasi dari ketidaksetaraan kekuasaan yang ada. Selain itu, sebagaimana yang dikatakan Effendi Gazali, Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, dalam Kompas.com bahwa ada kekuatan global, kekuatan asing di balik kasus Blok Mahakam. Dengan demikian, sejalan dengan penelitian ekologi politik di berbagai negara berkembang, hal ini menunjukkan bahwa kekuatan global dan negara merupakan pihak yang menjadi penyebab langsung atau tidak langsung atas krisis ekologi dan marginalisasi ekonomi atas masyarakat lokal. Bukan hal yang mengherankan kemudian, berbagai elemen negeri ini sepakat dengan lantang menuntut pemimpin negeri ini untuk mampu melawan kekuatan-kekuatan global tersebut, untuk merebut kembali Blok Mahakam. Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang mampu membawa negara agar menjalankan kedua peran sebagai negara dengan baik, yakni negara sebagai agen pembangunan dan pelindung lingkungan. Indonesia rindu pada sosok pemimpin yang berani. Tepat rasanya anggapan bahwa Indonesia butuh Pemimpin yang Merah Putih; Merah melambangkan keberanian dan Putih bukan hanya sebatas melambangkan suci, melainkan juga mensucikan. Rakyat Indonesia saat ini bukan hanya menunggu, dari siapapun pemimpin negeri pada 2014 nanti, tapi juga menuntut keberanian dari seorang pemimpin untuk berani mengambil keputusan, untuk tidak bersih sendirian, melainkan juga mampu membersihkan yang lain. Rindu pada pemimpin yang berpihak pada rakyatnya.

Saatnya Anak Negeri Unjuk Gigi

Dalam program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 2011, Kalimantan Timur dicanangkan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan Lumbung Energi Nasional”. Namun mirisnya, Kalimantan Timur tetap tidak berdaya karena tidak dapat menikmati keunggulan sumber daya alamnya sendiri. Tidak mengherankan jika kemudian berbagai elemen sepakat bersuara untuk kembali mengupayakan Blok Mahakam kepada tangan-tangan anak negeri. Anggapan atau pesimisme yang dilontarkan atas kekhawatiran tidak mampunya anak negeri dalam mengelola sumber daya alam yang ada, sejatinya merupakan penghinaan terhadap anak-anak negeri ini. Anak-anak negeri, yang dalam hal ini pemuda, dianggap tidak mampu. Padahal Bung Hatta, ketika ditanya oleh majelis hakim yang mengadili beliau di Den Haag, apakah mampu mengurus negara Indonesia yang merdeka atau tidak, Bung Hatta menjawab: ”Kalaupun tak mampu, itu bukan urusan Anda. Kami lebih suka melihat Nusantara musnah di bawah lautan daripada menjadi embel-embel Hindia Belanda!”. Namun nampaknya, kini yang ada justru bertolak belakang dengan apa yang pendiri bangsa ini katakan. Yang terjadi saat ini adalah petinggi negeri beranggapan bahwa negeri ini tak mampu mengelola sumberdaya alamnya sendiri, bahkan menyerahkannya pada pihak-pihak asing. Cukup sudah. Sudah saatnya anak negeri diberikan kesempatan, pengalaman & pembelajaran bagaimana mengelola sumber daya alam negara yang (seharusnya) kaya ini. Sudah saatnya anak negeri unjuk gigi, menunjukkan jati diri tentang siapa sebenarnya bumi pertiwi ini.

Masihkah Ada Harapan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun