Mohon tunggu...
Triana Umi Cahyati
Triana Umi Cahyati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta

....

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Sejarah Lumpia: Bentuk Rasa Cinta dan Akulturasi Budaya

23 Juni 2024   14:03 Diperbarui: 23 Juni 2024   14:17 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foodie. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lumpia merupakan salah satu jajanan tradisional yang banyak digemari oleh Masyarakat di Indonesia. Jajanan yang berasal dari Kota Semarang ini berisi rebung, ayam, atau udang yang digulung menggunakan kulit tipis berbahan terigu. Rasa manis dan gurih pada lumpia menjadikannya jajanan yang populer dan banyak dijajakan di pasar, baik di Kota Semarang maupun kota-kota lainnya. 

Dibalik rasa yang sedap dan kepopulerannya, ternyata lumpia memiliki sejarah yang cukup unik. Dapat dikatakan bahwa lumpia merupakan hasil dari sebuah cinta sekaligus akulturasi budaya Tiongkok dan Jawa yang terjadi sejak ratusan tahun lalu. Makanan khas Semarang ini pertama kali hadir pada abad ke 19 yang bermula ketika seorang perantau Tionghoa bernama Tjoa Thay Yoe datang ke Semarang dan memutuskan untuk membuka bisnis makanan. Ia menjual jajanan khas Chinanya yang sejenis dengan martabak berisikan daging babi dan rebung. Makanan ini memiliki rasa yang gurih. Dalam menjalankan bisnisnya, Tjoa Thay Joe mengenal Wasih yang pada saat itu menjadi pesaing bisnisnya.

Pada masa itu, Wasih juga menjual makanan yang mirip dengan Tjoa Thay Joe. Hanya saja makanan yang dijual Wasih berisikan kentang, udang, dan telur dengan cita rasa yang manis. Seiring berjalannya waktu, ternyata hubungan antara Tjoa Thay Joe dan Wasih telah berubah. Hubungan yang semula hanya sebatas pesaing bisnis berubah menjadi lebih dekat karena mereka saling jatuh cinta. Mereka pun memutuskan untuk menikah dan menjalankan bisnis bersama. 

Bisnis makanan di antara keduanya pun melebur menjadi satu. Makanan yang dulu mereka perjualbelikan mengalami perubahan karena adanya percampuran antara cita rasa makanan Tionghoa dan juga Semarang. Mereka memberi sentuhan berupa isi kulit lumpia yang diubah menjadi ayam ataupun udang dan dicampur dengan rebung, kemudian dibungkus menggunakan kulit lumpia khas Tionghoa. Dari perubahan ini terciptalah cita rasa gurih dari ayam atau udang dan rebung yang manis.

Dulu jajanan ini banyak diperjualbelikan di Olympia Park yang merupakan pasar malam Belanda dimana mereka sering berjualan. Usaha yang mereka bangun bersama menjadi semakin besar hingga diteruskan oleh anak-anaknya, yaitu Siem Gwan Sing dan Siem Hwa Noi. Siem Gwan Sing meneruskan usaha orang tuanya di Gang Lombok No. 11 dan Siem Hwa Noi membuka cabang di Mataram. Jajanan ini terus berkembang dan menjadi popular dikalangan masyarakat. Hingga saat ini lumpia masih menjadi jajanan yang begitu banyak digemari oleh masyarakat Indonesia, baik di Kota Semarang ataupun kota-kota lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun