"Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta" adalah film garapan Hanung Bramantyo yang menceritakan tentang bagaimana Sultan Agung menjadi pemimpin Mataram dan perjuangannya menghadapi VOC. Saat itu, bumi Indonesia masih disebut dengan Nusantara. Namun, berbagai potret praktik politik seperti pergantian pemerintahan, politik luar negeri, dan diplomasi sudah terwujud seperti yang ditunjukkan secara jelas dalam film "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta". Salah satu contoh praktik politik pada era kerajaan ini dapat dilihat dari adegan ketika VOC datang ke Mataram dengan membawa hadiah dan meminta diberikan izin berdagang di wilayah Mataram kepada Sultan Agung. Meskipun pada akhirnya Sultan Agung tidak menerima penawaran VOC karena khawatir kerajaannya juga akan diserang seperti kerajaan lain, tetapi dalam praktik pengambilan keputusannya terdapat pertentangan antara Sultan Agung dengan pamannya, Tumenggung Notoprojo.
Berbeda dengan Sultan Agung yang menganggap bahwa ada tujuan lain dari penawaran VOC, yaitu untuk menaklukkan Mataram, Tumenggung Notoprojo lebih optimis dengan mengatakan bahwa tidak ada salahnya bekerja sama dengan perusahaan dagang besar seperti VOC. Di antara kedua pandangan tersebut tentu tidak ada yang salah jika melihat bahwa keduanya memiliki pertimbangan masing-masing dalam melindungi Mataram. Namun, jika harus memilih saya lebih memihak pendapat Sultan Agung. Terlepas dari sejarahnya, jika berada pada masa itu dan melihat kerajaan lain satu persatu tunduk kepada VOC harusnya kita dapat langsung menyimpulkan apa makna kedatangan VOC.
Pada dasarnya, praktik diplomasi yang dilakukan oleh VOC tidak jauh berbeda dengan praktik diplomasi masa kini. Dulu, VOC membawa berbagai hadiah untuk 'membujuk' Sultan Agung dan mendapatkan persetujuan melakukan perdagangan di wilayah Mataram. Artinya, ada kepentingan yang ingin dicapai. Sama halnya dengan praktik diplomasi masa kini, negara-negara dalam menjalin hubungan dengan negara lain, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya tentu ada 'kepentingan nasional' yang ingin dicapai di dalamnya. Lalu sebenarnya, seperti apa praktik diplomasi di masa kerajaan Indonesia?
Diplomasi Indonesia pada era kerajaan cenderung masih bersifat sederhana. Secara umum, praktik diplomasi masih berdasarkan tiga motif utama yaitu praktik diplomatik atas dasar kepentingan agama, praktik diplomatik atas dasar kepentingan politik, dan praktik diplomatik atas dasar kepentingan perdagangan. Adanya pertukaran budaya pada masa itu pun terjadi karena adanya praktik diplomatik yang didasarkan oleh tiga motif tersebut.
Pertama, praktik diplomatik berdasarkan kepentingan agama pada saat itu dipengaruhi oleh masuknya agama Hindu-Buddha serta Islam ke Indonesia. Kerajaan-kerajaan Nusantara banyak mengirim perwakilan diplomatiknya ke negara India untuk memperdalam agama Hindu dan Buddha serta ke Arab untuk memperdalam agama Islam. Perwakilan Diplomatik yang dikirimkan ini selain bertujuan untuk membangun hubungan kerja sama dengan negara penerima baik di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya, tetapi juga diharapkan mampu memperdalam ilmu agamanya dan menyampaikan kembali tentang apa yang Ia pelajari ketika kembali ke Nusantara.
Kedua, praktik diplomatik berdasarkan kepentingan politik umumnya dilakukan karena keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan dan menjaga hubungan baik dengan negara atau kerajaan lain sehingga kerajaannya tetap aman. Dalam beberapa kasus, kerajaan Nusantara mengirimkan perwakilan diplomatiknya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan lain dalam menghadapi ekspansi suatu negara atau kerajaan.
Ketiga, praktik diplomatik berdasarkan kepentingan perdagangan pada era kerajaan di Indonesia adalah hal yang sangat umum mengingat praktik perdagangan pada masa itu sangat gencar dilakukan. Banyak pelabuhan-pelabuhan di Nusantara yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing. Interaksi yang terjadi antara kerajaan lokal dengan para pedagang ini menuntun keduanya ke dalam berbagai jenis kesepakatan seperti perjanjian kerja sama, perizinan berdagang di wilayah kerajaan, hingga pendirian benteng bagi negara atau kerajaan asing di wilayah kerajaan Nusantara.
Jika dipahami secara lebih mendalam, praktik diplomatik yang dilakukan pada masa kerajaan di Indonesia secara garis besar saling berkaitan satu sama lain. Di sisi lain, praktik-praktik diplomatik ini membuka pengetahuan baru bahwa pada dasarnya Indonesia bukanlah bangsa yang dijajah selama 350 tahun. Praktik diplomasi yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia menunjukkan kemajuan peradaban bangsa Indonesia sehingga hal ini membuktikan bahwa kita bukanlah bangsa yang lemah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H