Mohon tunggu...
Rini
Rini Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Aku bukan siapa-siapa, Hanya wanita biasa, Biasa-biasa saja, Tanpa siapa-siapa, Yang penting ada, main aja disini ya http://www.rindol.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tanah Jawi, Gemah Ripah Loh Jinawi

26 Agustus 2012   07:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:18 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi Mudik Lebaran, dari Tahun ke tahun tidak lekang oleh krisis apapun. Kemacetan disana-sini pun bukan suatu halangan demi terjalinnya tali silahturahmi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, libur panjang kali ini pun kami menyempatkan diri untuk Pulang kampoeng, “Bersilaturahmi” mengunjungi orang tua dan sanak saudara di Pulau Jawa tercinta.

Lebaran 2011, liputan tentang kemacetan jalur Pantura dan berlebaran ala Mayangsari dikota kelahiranku yang saya ceritakan di Kompasiana. kali ini saatnya saya menceritakan tentang Gemah Ripah Loh Jinawi bumi Pertiwi yang kita cintai ini.

Jalur Selatan yang kami pilih untuk perjalanan mudik Tahun ini, saya, suami dan anak semata wayang begitu menikmati perjalanan yang sangat tersendat karena padat merayap sepanjang pintu keluar tol Cileunyi, Nagreg hingga Malangbong.

Sepanjang jalan diantara kemacetan kami disuguhi lukisan alam yang begitu menagjubkan, pegunungan dengan langit birunya yang begitu indah, terasering pesawahan yang hamparan hijaunya menyerupai beludru atau karpet unggulan dari Arab Saudi atau bahkan padi yang telah menguning siap dipanen dan beberapa perkebunan palawija yang begitu rimbun dan subur, membuat kami berdecak kagum dan mensyukuri nikmat Illahi.

Memasuki perbatasan Jawa Barat Jawa Tengah, kesibukan para petani yang tengah memanen sawahnya menjadi pemandangan yang menjadi bahan diskusi kami, terlebih putri kecilku banyak ingin taunya. Tentang proses bagaimana biji-biji padi tersebut kemudian bisa menjadi beras, lalu kenapa sawah yang sudah dipanen harus dibakar. Petani itu dapat gaji dari mana? Dan masih banyak lagi tanya yang keluar dari mulut mungilnya, untung bapaknya sembari mengemudikan kendaraan dapat secara tuntas dan lugas menjawab keingin tauan putri kami.

Musim kemarau seperti ini membuat Petani memilih untuk menanam palawija, sehingga lahan sawah harus dibakar terlebih dahulu sebelum tanahnya digemburkan kemudian ditanami palawija. Dulu, alat tradisional “Lesung” lah yang menjadikan gabah menjadi beras, sebelum ada mesin penggiling padi yang modern seperti saat ini. KUD atau Koperasi Unit Desa pun sudah banyak sehingga petani tidak lagi kerepotan untuk menjual hasil panennya. Dan masih banyak lagi penjelasan dari suami yang begitu semangat mengemudi dan menceritakan tentang seluk beluk Petani, sawah dan Palawija.

Betapa subur dan kaya rayanya tanah air kita, bahkan diibaratkan kolam susu dan tongkat kayupun bisa menjadi tanaman.

Memasuki perkotaan, beberapa lahan sawah terlihat tengah mulai diurug dijadikan pemukiman, perumahan dan pertokoan. Gedung-gedung baru seperti Mall, mini market, resto dan café mulai menjamur hingga terpikir oleh saya, bagaimana nanti nasib para petani? Atau? Akankah kelak kita import semua? Seperti kedelai yang tengah membumbung tinggi? Mungkinkah ditangan para pejabat yang tidak amanah ladang dan sawah akan musnah karena serakah?

23 jam perjalanan kami tempuh dari Ibukota hingga tanah kelahiranku, lelah dan penat terbayar lunas saat kami kembali dapat menikmati sunset dipesisir pantai selatan, deburan ombaknya pun mampu menentramkan jiwa. Suguhan lukisan alam yang jauh lebih agung yang kami dapati di laut yang tidak jauh dari kediaman nenek buyut kami. Luar biasa…..

Kemarau panjang, orang didesaku menyebutnya “Musim Ketiga”, siang hari terik matahari begitu menyengat, kering kerontang dan deburan debu juga pasir putih dari tepian pantai begitu menderu, sementara jelang sore hingga pagi hari, dinginnya begitu menusuk tulang belulang. Bbbbrrrrrrrrr……..

Namun, musim kemarau tidaklah membuat tanah hilang kesuburannya. Terbukti bumi yang tengah saya injak ini masih banyak menghasilkan bermacam buah-buahan dan sayuran.

Hampir setiap hari, kami dihidangkan masakan dan makanan dari hasil kebun sendiri. Nasi? Ambil dari lumbung padi, halaman belakang bahkan masih ada gabah-gabah yang tengah dijemur, tiap hari kami menyaksikan kesibukan orang-orang kampung yang bekerja dirumah nenek.

Urab dan pecel yang daunnya dipetik dihalaman depan dan samping rumah, seperti kembang turi, daun SO (Melinjo), pucuk-pucuk daun singkong, daun papaya, daun mangkokan, kenikir, kecombrang dan pete cina (mlandingan), kelapa parutnya pun tidak harus ke pasar, semuanya fresh, Subhanallah…..nikmat sekali.

Pohon Petai yang menjulang tinggipun tengah memamerkan biji-biji petainya yang rimbun, bahkan buah-buahan yang biasa saya beli dengan mahal di Jakarta, kini saatnya mau makan tinggal petik sendiri.

Duet, tau buah duet yang unggu menyerupai anggur? Makan sepuasnya hingga lidah berubah warna menjadi pupple love, hehehehhehe….

Sawo, si coklat yang manis. Buah kesukaan saya pun tengah memenuhi dahan-dahannya, petik cuci makan deh….

Kedondong, jambu biji dan kopi-hanjing, iya, beneran ada buah yang namanya kopi hanjing, rasanya ada yang asam ada juga yang manis, seperti buah kedondong (sayang sekali, saya ndak bisa upload fotonya disini)

Mangga, wah mangga harum manis ternyata makin meraja lela dipohonnya jika tengah kemarau, alhasil putriku tiada henti memakan buah kesukaannya.

Pepaya, Pisang, nanas, salak pun tidak ketinggalan menjadi menutup santap siang kami selama sepekan.

Rambutan? Aneh, dua pohon rambutan yang rindang dihalaman rumah nenek terlihat sangat angkuh, berdiri tegar tanpa bunga secuilpun. Kenapa mereka tidak berbuah? Sesekali hanya terlihat daun-daun keringnya berjatuhan, bertebaran di rumput-rumput jepang yang dibeberapa tempat terlihat kering terpanggang matahari.

Stroberi petik sendiri pun sempat kami singahi di Purbalingga, dataran tinggi bumi Pratin yang sejuk tidak kalah dengan Puncak Pass Bogor, Stroberinya yang merah, segar dan manis sekali. Hmmmm…..

Mudik tahun ini, kami benar-benar diperlihatkan keBesaran Allah melalui hasil bumi yang melimpah ruah, keAgungan-NYA melalui gunung, bukit, sungai dan laut yang sedemikian indah dan mempesona.

Terima kasih ya Rabb…., tidak ada maksud riya hanya berbagi betapa Gemah Ripah Loh Jinawinya bumi pertiwi ini. Terima kasih Purwokerto…., Cilacap…., Purbalingga Dan Pekalongan….

Kuliner? Kulinernya juga seru lho……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun