Layaknya zaman saya saat pada sekolah dasar dulu, setiap liburan sekolah guru akan memberikan tugas kepada setiap anak dengan wajib menceritakan dalam tulisan tentang kegiatan liburannya. Saya juga akan mencoba menuliskan kegiatan liburan pendek saya, perbedaannya pada saat sekolah apa yang saya tuliskan 100 persen hasil imajinasi saya yang akhirnya tidak jauh-jauh dari judul liburan ke pantai, liburan ke kebun binatang, sampai liburan kerumah nenek sedangkan tulisan kali  ini asli hasil perjalanan liburan pendek saya.
Tanggal merah di akhir bulan November menuju bulan desember tahun 2017 menjadi waktu yang cukup strategis untuk diisi liburan, kurang lebih 4 hari bisa digunakan untuk rencana liburan. Pada kesempatan ini saya menggunakan untuk mengunjungi namboru (tante dalam bahasa batak) Â saya yang tinggal di desa rawa medang, jambi. Secara garis besar saya sudah tahu kondisi lingkungan rawa medang , tepatnya jauh dari gambaran lingkungan masyarakat kota. Dari bandara Sultan Thaha menuju desa rawa medang kurang lebih memakan waktu 3 sampai 4 jam. Sayangnya, tidak ada transportasi umum yang disediakan pemerintah untuk menuju desa rawa medang dan sekitarnya.Â
Alhasil kita menggunakan jasa penyewa mobil dengan system booking dan dalam satu mobil ini layaknya angkot, jadi penumpangnya sebagian besar adalah warga dari desa yang ingin ke kota untuk membeli kebutuhan. Selama perjalanan memasuki wilayah merlung, tanjung jabung barat kita akan melihat pemandangan hutan sawit yang sangat luas maka tak heran selama perjalanan saya lebih sering melihat truck pengangkut sawit, dan beberapa rumah warga yang terbilang khas, sebagian besar rumah warga disana masih rumah panggung.
Memasuki desa rawa medang mulai terasa sekali perbedaannya dari desa-desa sebelumnya, ditandai dengan  hilangnya sinyal handphone, jalanan yang mulai bergelombang dan berabu karena banyaknya pasir terseret kendaraan. Rumah warga disini sebagian besar masing menggunakan rumah kayu dengan pekarangan yang luas yang dikelilingi pohon sawit walaupun ada beberapa rumah tembok.Â
Anak-anak bebas bermain di jalan tanpa alas kaki, ibu - Â ibu mandi di sungai, bapak-bapak berjalan kaki dari kebun sawit, hewan-hewan bebas lalu lalang. Terlalu lama hidup di perkotaan membuat sungguh ini suasana yang sangat saya rindukan dan membuka kenangan-kenangan saya dulu saat anak-anak di kampung halaman saya di padang sidempuan medan.
Saya sengaja bangun pagi karena penasaran dengan aktivitas warga disini, tetapi paginya saya siang bagi warga disana. Pekerjaan warga di Ds.rawa medang sebagian besar alah bercocok tanam sawit.Uniknya yang baru saya tahu bahwa sawit ituh panen 5 tahun sekali, dan pohonnya akan di tumbangkan setelah 25 tahun, artinya betapa eratnya hubungan sawit dengan pemiliknya, terbayang betapa emosionalnya saat tiba untuk menebang sawit yang sudah berumur 25 tahun.Â
Seperti merelakan anak perempuan yang sedari kecil dirawat dan disayang dan saat berumur 25 tahun anak perempuan itu harus dilepaskan  ke suaminya. Maka saya tanya untuk apa warga ke kebun sawit tiap pagi kalau panennya cukup lama, jawabannya selain harus dirawat dengan memangkas rumput, sawit juga perlu disemprot "vitaminnya".
Sawit bagi warga jambi bagaikan emas maka tidak heran cukup banyak fakta pencurian sawit, maka warga yang mempunyai kebun sawit wajib menjaganya. Bicara soal sawit yang berharga, namboru saya membagikan kisah lucunya tentang sawit. Saat panen sawit mereka sekeluarga pulang dari kebun menggunakan motor dengan membawa hasil panen, di pertengahan jalan mereka menemukan sebongkah sawit terjatuh dijalan, hipotesa namboru saya, mungkin jatuh dari truk pengangkut sawit.Â
Tanpa berpikir panjang panjang amangboru (paman dalam bahasa batak) saya menyuruh 2 anaknya yang masih kecil dan istrinya untuk turun dari motor agar dia bisa membawa bongkahan sawit itu kerumah, dan namboru saya dengan 2 anak kecilnya menunggu dikebun saat gelap sampai amangboru menjemput mereka. Cerita itu menambah seru ritual mandi saya di alam terbuka. Maklum saja hampir semua rumah warga disini tidak memiliki kamar mandi yang standar. Bagi warga yang tidak mau ke sungai maka mereka membuat sumur dengan berdindingkan spanduk beratap pohon sawit yang mesti waspada dari serangan babi liar, dan ular yang terkadang suka kembali ke wilayahnya yang sudah menjadi pemukiman warga.
***