Tabanan, Bali, telah lama menjadi isu sosial yang perlu diluruskan. Melalui pendekatan pendidikan multikultural, stigma ini dapat dihapuskan secara bertahap dan digantikan dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang kearifan lokalÂ
Stereotip negatif tentang "pencari sentana" yang melekat pada masyarakatKabupaten Tabanan, dengan luas 839,33 km dan populasi 469.340 jiwa, merupakan cermin keberagaman Pulau Dewata. Wilayah ini tidak hanya terkenal dengan Jatiluwih - warisan dunia UNESCO yang memukau, tetapi juga dengan harmoni sosial yang terjalin di antara pemeluk Hindu, Buddha, dan Islam.
Istilah "pencari sentana" muncul dari kesalahpahaman terhadap tradisi "nyentana" - sebuah praktik pernikahan adat Bali di mana mempelai pria masuk ke keluarga mempelai wanita. Stereotip ini telah menciptakan persepsi yang keliru, seolah-olah seluruh masyarakat Tabanan mengutamakan praktik tersebut
Pendidikan multikultural merupakan salah satu solusi yang sangat relevan dalam mengatasi stereotip ini. Dengan pendekatan yang menekankan penghormatan terhadap keberagaman, pendidikan multikultural dapat membantu meluruskan persepsi keliru dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai konteks budaya lokal. Salah satu langkah awal yang penting adalah mengintegrasikan materi tentang keberagaman budaya lokal ke dalam kurikulum pendidikan formal, baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah. Hal ini akan membantu generasi muda untuk menyadari bahwa tradisi "nyentana" adalah salah satu aspek dari budaya Bali yang tidak bisa digeneralisasi atau distereotipkan sebagai ciri khas seluruh masyarakat Tabanan.
Selain pendidikan formal, dialog antarbudaya juga harus diperkuat untuk memfasilitasi pemahaman yang lebih baik tentang tradisi ini. Forum diskusi yang melibatkan tokoh adat, pemuda, dan pemimpin agama bisa dijadikan sebagai arena untuk mengklarifikasi makna "nyentana". Edukasi lintas generasi seperti ini berfungsi untuk mendekonstruksi stereotip yang salah dan menggantinya dengan narasi yang lebih inklusif.
Kampanye sosial melalui media lokal juga sangat efektif dalam mengedukasi masyarakat mengenai keberagaman budaya Bali. Artikel, video edukatif, dan seminar yang diadakan oleh berbagai lembaga dapat digunakan sebagai sarana untuk menyebarluaskan pemahaman yang lebih akurat mengenai tradisi "nyentana" serta pentingnya penghormatan terhadap pilihan budaya individu. Media memiliki potensi besar dalam memperkenalkan perspektif yang lebih luas kepada masyarakat umum, yang pada akhirnya dapat mengurangi prasangka dan stereotip yang tidak berdasar.
Untuk menuju Tabanan yang lebih Inklusif, Pendidikan multikultural bukan sekadar alat untuk menghapus stereotip, tetapi juga katalis untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang tradisi "nyentana", masyarakat Tabanan dapat membangun narasi baru yang lebih positif dan berkeadilan.
Kesimpulannya upaya menghapus stereotip "pencari sentana" melalui pendidikan multikultural merupakan langkah strategis menuju Tabanan yang lebih progresif. Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, Tabanan dapat menjadi model daerah yang berhasil mentransformasi stigma sosial menjadi apresiasi terhadap kearifan lokal.
Penulis: Ni Komang Tria Meriyanti, Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H