Mohon tunggu...
Tri Ambarsari
Tri Ambarsari Mohon Tunggu... -

Kalo kamu bilang nggak bisa, kamu nggak akan pernah bisa!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ayah, yang Sering Kita Lupakan

23 September 2011   12:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari aku kecil sampai SMA, hingga sekarang kuliah, terkadang ada suatu acara renungan bersama. Entah kenapa, yang aku dengar selalu tentang orang tua. Lama berjalan, masih tentang orang tua. Kemudian menyempit jadi tugas-tugas dan pengorbanan orang tua, kemudian dipersempit lagi menjadi pengorbanan ibu.

Tanpa mengurangi rasa sayang dan rasa hormat saya pada ibu saya dan ibu-ibu lain di seluruh dunia, kadang saya merasa di sini ada semacam diskriminasi. Saya berpikir, kenapa kita lebih disuruh menghargai ibu dalam renungan? Kenapa jarang sekali ayah dibahas?

Padahal menurut saya, terkadang pasti timbul rasa ingin untuk disebut dalam renungan dalam diri seorang ayah. Terkadang, mungkin beliau juga ingin mendengar teriakan keras di akhir renungan, "I love you, Dad! With all my heart, thanks for everything!"

Saya bikin tulisan ini karena saya kangen ayah saya. Apa kabar ayah saya di rumah, ya? Saya selalu menangis saat saya mendengar suara ayah saya yang menimpali pembicaraan saya ketika saya menelpon ibu saya.

Saya sedikit pun nggak pernah berpikir lebih menyayangi ibu saya daripada ayah saya. Saya menyayangi mereka berdua.

Teringat lagi, terkadang saya menelpon ayah saya hanya bila ada masalah keuangan. Terakhir saya bicara langsung itu pas ATM saya diblokir. Seolah ayah itu hanya diperlukan bila masalahnya sudah tentang keuangan.

Sering disebutkan juga bahwa ibu itu seperti ini pengorbanannya, jarang sekali menyebut bagaimana pengorbanan ayah. Sempat nggak sih hati kalian teriris pas kalian bersalaman dengan ayah kalian dan mendapati kulit ayah kalian nggak seputih dulu lagi? Nggak sehalus dulu lagi? Teriris kah hati kalian saat mencium tangan ayah kalian dan merasakan bahwa tangannya sudah keriput?

Kalo saya, saya selalu merasa teriris.

Kalo saya, saya selalu mengingat kasarnya punggung tangan ayah saya, hitamnya punggung ayah saya. Saya selalu mengingat dan membuat saya lebih menyayanginya.

Intinya, di sini ayah juga sama berharganya dengan ibu. Menurut saya, tidak ada yang pengorbanannya lebih besar atau bagaimana. Ibu memang mengandung kita selama 9 bulan. Lalu selama bertahun-tahun lamanya kita hidup, ayah lah yang membiayai.

Saya cuma pingin bilang, hargai mereka berdua. Jangan pernah sekali pun berpikir ibu lebih penting atau apa pun. Jangan juga berpikir ayah lebih penting. Mereka berdua penting. Cukup ucapkan dengan sepenuh hati, "I LOVE YOU DAD WITH ALL MY HEART, I LOVE YOU MOM WITH ALL MY HEART!" :)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun