Meratapi rindu yang berjarak mampu mengenang namun, tak sanggup menggenggam. Adakah yang pernah merasakannya? Hanya mampu menguraikan kata-kata rindu, lalu waktu seakan belum berpihak. Sedih rasanya bersabar menahan berbagai hal yang ingin dilewati bersama atau setidaknya berada disampingnya. Ribuan pesan terkirim hingga bermenit-menit jalinan komunikasi lewat gawai tetap belum memuaskan segalanya.
Masa-masa merindu di perantauan memang hal yang luar biasa rasanya. Campur aduk namun disisi lain mengemban tanggung jawab yang harus dijalani. Bisa karena pendidikan ataupun untuk bekerja.Â
Jauh sebelum mengerti rasanya merindu terkenang beberapa kalimat dari buku Manusia Setengah Salmon, "Kalau pindah diidentikkan dengan kepergian, maka kesedihan menjadi sesuatu yang mengikutinya. Padahal, untuk melakukan pencapaian lebih, kita tak bisa hanya bertahan di tempat yang sama. Tidak ada kehidupan lebih baik yang bisa didapatkan tanpa melakukan perpindahan"
Pernyataan tentang perpindahan dan kehidupan yang lebih baik membulatkan tekadku untuk berani merantau. Keluarga merestui kepergianku untuk menempuh pendidikan. Mereka selalu berpesan bahwa aku harus kuat dan bersyukur atas kesempatan yang diberikan kepadaku, jangan khawatir dengan apapun karena orang tua akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk anaknya.
Memang ya niat baik pasti ada saja jalan keluarnya. Berbagai masalah datang silih berganti, hampir membuatku untuk menyerah melanjutkan pendidikan. Tetapi tidak ada kata menyerah untuk mencoba semua peruntungan. Alhamdulillah semuanya satu persatu mampu teratasi. Bersyukur memiliki keluarga hingga teman-teman yang mendukung.Â
Terima kasih tlah merindu.Â
Kesedihan bermula dari rindu yang berjarak. Lalu terbayarkan dengan sebuah pertemuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H