Ingar-bingar kota ini sedikit menghangatkanku. Samarinda. Oh tidak, saat ini panas. Samarinda panas. Coba tengok tulisanku di Seputarfakta.com kenapa Samarinda panas.Â
Mulanya, aku buta akan kota ini, hanya dengar cerita dari kawan-kawan sekumpul tentang apa itu Samarinda. Ajaibnya kini aku hidup di sini. Sendiri.Â
Nilai rapor SMA membawaku menuju gerbang Universitas Mulawarman di kota ini. Dilempari sejuta harapan-harapan bisu, hingga tak sekalipun aku berani mengadu.Â
Untuk aku si peka, tentu saja itu jadi beban. Ya! Mereka berharap hidupku menjadi lebih baik dari saudara-saudaraku yang lain. Tentu saja aku tak menolak mewujudkan itu.Â
Sayang, itu tak semudah saat kau mengedipkan mata, dude!
Ekspektasi yang dibangun hancur seketika oleh realita. Dulu, aku berpikir bisa dengan mudah menjalaninya. Tidak, bung! Dewi fortuna belum berpihak padaku. Dari sekian banyak masalah, lagi-lagi uang yang jadi persoalan.Â
Oh God, tak cukupkah 20 tahun aku hidup dicekik hal itu, jeritku dalam hati.Â
Sebisa mungkin aku harus tetap waras. Sudah sejauh ini. Amat disayangkan jika aku mengikuti setan itu.Â
Ya, setan itu berkata "Sudahilah lelahmu itu. Leha-leha saja sesukamu," bisiknya.Â
"Mati saja kau!" jawabku.
Untuk bertahan di Ibukota Provinsi Kaltim ini, akhirnya banyak hal yang ku kurangi. Kurang darah, kurang gula, kurang minum, dehidrasi, kurang makan, sakit.Â