Mohon tunggu...
Tri Agustiawan
Tri Agustiawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita(nya) Musim Hujan

23 Oktober 2013   04:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:09 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua wajah satu orang, yang satu dengan kumis yang satunya lagi tanpa kumis. Berputar-putar berlawanan dengan arah jarum jam. Wajah-wajah itu berputar-putar, memudar, sekarang wajah itu adalah dua buah ban. Ban botak. Sengaja aku hentikan laju motor butut ini, kemudian mendongakkan kepalaku. Nimbostratus. Gumpalan-gumpalan uap air yang terapung-apung jauh di atas kepalaku itu tak mampu lagi menahan butiran-butiran air yang telah menumpuk, puk, puk, lalu menepuk-nepuk wajahku. “Jenuh.”, barangkali itu yang—mungkin—akan dilisankan mereka, hanya jika Tuhan memberikan kuasa padanya. “Jangan. Jangan lagi …” aku mengeluh.

Di pinggir gang, gang Tegalwangi namanya. Berteduh pada bangunan warung sederhana—yang memulai kegiatan ekonominya ketika sore menemukan malam. Berlindung dari mereka-yang-sedang-bermuram-ria-di-atas-sana yang sudah barang tentu bisa membuatku kebasahan. Dimulailah perkusi yang dimainkan oleh Hujan dengan Atap Asbes sebagai instrumennya. Bisa kau dengar bunyinya? Tak diragukan lagi, suatu kemampuan yang menakjubkan. Menunggu dengan berdiri pada kedua kaki. Kaki sendiri. Kaki yang berbulu, bulunya keriting—untuk diketahui, beberapa bulu kaki ada yang ujungnya bercabang juga. Menunggu sambil duduk jongkok juga boleh, yang mana yang menarik hati saja. Hujan turun seakan tanpa henti, sesekali angin lewat dengan cueknya. Dingin. Memelintir. Kunaikkan tangan kananku, menggapai-gapai mendung itu, terang-terangan mencoba untuk memetiknya. Sementara itu, kelingking kiriku sedari tadi aku gunakan untuk mengupil. Pekerjaan yang berguna sekali. A sweet thing to do. “Heh, brother-sister yang disana … Mau sampe kapan kau bermuram-muram, ha?" tanyaku, berharap ada jawaban dari gerombolan yang telah membuatku terdampar di sini. Aku sentil upilku ke udara. Terlempar, diombangambingkan. Jerih-payah ku itu kemudian mendarat, menjadi bagian dari alam. Aku ikhlas. Lama. Dancing in the rain. Sebentar … Aku catat dulu di to-do list milikku, ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun