Mohon tunggu...
Tri Agustiawan
Tri Agustiawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cih

30 Oktober 2013   21:14 Diperbarui: 1 September 2015   10:22 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pada suatu masa, ketika semua benda sudah serba canggih. Bukan hanya benda mati, binatang pun dibuat canggih. Raja Hutan meng-aum memakai sarung, unta tidak lagi meludah tapi berfalsafah, ada juga udang yang bersenjatakan parang.

Untuk sekedar menghilangkan suntuk setelah lama belajar di dalam kandang, saya jalan-jalan ke pasar tradisional. Melihat-lihat barang-barang unik yang pasti akan saya beli apabila benda-benda itu menarik hati saya. Sayangnya tidak ada sesuatu yang membuat saya terpikat, daya pesona benda-benda itu jauh di bawah standar ideal saya.

Tak ada yang istimewa, saya berjalan kembali menuju pintu masuk pasar tersebut. Saya masuk ke dalam elevator besar yang berbentuk seperti buah semangka. Saya pencet tombol terakhir di deretan tombol-tombol yang sekecil biji salak itu. Elevator bergerak horizontal.

Setelah beberapa sekat terlewati, pintu terbuka. Ding! Bidadari berjakun masuk, menekan-nekan beberapa tombol dengan jari lentiknya. Saya diam. Dia diam. Waktu terdiam. Karena bingung mau ketawa atau tersenyum, saya putuskan untuk nyengir. Nyengir takzim.

Kenapa nyengir? tanya bidadari dengan sinis kepada saya. “Sesuatu yang lucu membuat saya nyengir, Mas.” jawab saya dengan tenang. “Mas? Please deh. Nona. Panggil saya nona! Nona Minta Dansa.” seraya menjawil dagu saya dengan gemas. Dagu saya—yang berjanggut tipis itu—pun bergetar dengan tidak hebatnya.

Iya, Nona,” jawab saya tergagap-gagap kemudian selangkah menjauh. Sejurus kemudian bidadari pun nyengir. “Kenapa nyengir? tanya saya pura-pura tenang. “Sesuatu yang lucu membuat saya nyengir, Mbak.” jawab bidadari genit. “Mbak? Tolong, anda telah memancing emosi saya. Tuan. Panggil saya Tuan! Tuan Yang Terhormat.” seraya membenarkan bra saya yang kedodoran. “Iya, Tuan,” jawabnya sungkan. Saya tepuk-tepuk dada saya. Dada saya—yang sebesar pepaya itu—pun bergetar dengan hebatnya.

Ding! Pintu terbuka di suatu sekat. Dia diam. Saya diam. Waktu terdiam. Elevator yang tadi diam, diam-diam nyengir. Nyengir takzim. Pintu menutup kembali, kemudian bergerak vertikal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun