Umat manusia dalam sejarahnya tak terelakan dari sebuah realitas yang Bernama konlik. Seorang tokoh realisme yaitu Hans Morgenthau, menyatakan bahwa system internasional beroperasi dalam kondisi dan situasi yang anarki yang dimana jika ingin bisa mengatur dunia harus bersaing dengan negara kuat lain dan akhirnya terjadi awal mula konflik antar negara. Konflik juga tak harus melulu tentang perang ataupun sentuhan fisik antar yang berkonflik, namun konlik khususnya di masa sekarang diantaranya konlik politik, konflik sosial, konflik internasional, bahkan konlik agama. Konflik akhir-akhir ini yang paling sensitive yaitu konflik agama, ketidaksepakatan, perbedaan pendapat, persaingan, dan ketidakadilan merupakan beberapa sebab terjadinya konflik-konflik ini.
Dalam Upaya untuk menyelesaikan konflik, manusia telah mencoba dan melakukan berbagai strategi, salah satu Upaya yang dilakukan manusia untuk meyelesaikan konlik yaitu dengan agama. Kita umat islam tentu tak lepas dari pedoman agama untuk menyelesaikan konflik, dalam konteks ini yaitu berpedoman pada Al-Quran. Karena islam merupakan agama yang mengajarkan cinta damai dan sangat membenci pemutusan tali persaudaraan. Maka dari itu banyak ayat Al-Qur’an yang mengajarkan pada umat manusia untuk cinta damai dan memelihara persaudaraan dengan sesama manusia. Allah berfirman dalam Q.S Ali Imran Ayat 103 yang artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Dijelaskan dalam ayat itu bahwa Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa memelihara perdamaian dan menjauhi permusuhan. Dalam konteksi HI, ayat ini menjelaskan ajakan untuk menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi diantara negara-negara yang sebelumnya terlibat konflik atau perselisihan, ayat ini juga memberi petunjuk untuk pentingnya mencari jalan keluar yang terbaik dari sebuah konflik antar negara agar bisa memperbaiki hubungan dan membangun kepercayaan antar negara Kembali. (Rizky Wika Shintya Devi, 2019)
Oleh karena itu, Sebagai sumber inspirasi untuk penyelesaian konflik, Al-Quran menawarkan pendekatan dan strategi yang berakar pada nilai-nilai Islam yang mendorong kerukunan, keadilan, perdamaian, dan pemahaman yang mendalam. Metode ini tidak hanya berlaku untuk orang Muslim, tetapi juga memiliki nilai yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan konflik dengan orang-orang dari berbagai agama dan budaya.
Al-Quran tidak hanya menjadi sumber ajaran agama pada zaman Rasulullah Muhammad SAW, tetapi juga memberikan panduan praktis untuk menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat. Melalui pengajaran, khotbah, dan contoh teladan, Nabi Muhammad membantu umat Muslim memahami sifat dan konsekuensi konflik serta cara menanganinya dengan bijaksana. Beliau juga mengajarkan pentingnya kesabaran, pengertian, dan pengendalian diri saat menghadapi situasi konflik. Dengan melakukan ini, Nabi Muhammad berusaha untuk mencegah konflik yang lebih besar di masa depan dan mendorong umat Muslim untuk menjadi penengah yang baik dalam memecahkan konflik.
Contoh perilaku nabi misalnya pada waktu itu, kaum Anshor pernah menentang Nabi melalui sahabatnya Sa’ad bin Abi Waqqash di Madinah. Mereka mempertanyakan mengapa kaum Muhajirin menerima jumlah harta rampasan perang yang lebih besar daripada kaum Anshor. Nabi dengan cepat memahami informasi tersebut dan langsung berbicara dengan kaum Anshor dan menjawab pertanyaan mereka. Dia menyatakan bahwa orang Muhajirin meninggalkan hartanya, keluarganya, ternaknya, dan rumahnya. Mereka meninggalkan semua kenikmatan duniawi untuk hijrah dan berkhidmat kepada Allah. (Dr. Hasrat Efendi Samosir, MA., 2019)
Sedangkan penduduk Madinah, mereka memiliki keluarga, rumah, ternak, juga dagangan. Sehingga Nabi mengatakan bahwa ini bukan persoalan sama rata, dan adil bukan sama rata, tapi proporsional. Karena kaum Muhajirin, mereka meninggalkan segalanya, maka wajar kalau mereka mendapatkan nilai lebih dari pembagian rampasan perang daripada yang didapatkan oleh kaum Anshor. Sehingga kaum Anshor mengatakan sami’na wa atho’na, kami dengar Ya Rasul, dan kami mentaati. (Dr. Hasrat Efendi Samosir, MA., 2019)
Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 46 yang artinya, “Dan taatilah Allah dan RasulNya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar”. Allah mengingatkan kita untuk tidak berbantah-bantahan. Nanti kalau kita berbantah-bantahan, kita akan lemah, rusak, dan hilanglah kekuatan kita. Sebenarnya Al-Qur’an mengatakan dengan jelas, Rasul memberikan contoh dengan jelas, bagaimana konflik sosial ditangani dengan langkah-langkah yang tepat. (Dr. Hasrat Efendi Samosir, MA., 2019)
Dalam menghadapi konflik, Rasulullah SAW menggunakan proses mediasi, negosiasi, dan penyelesaian masalah untuk menyelesaikan konflik. Selain itu, dalam menghadapi konflik, Rasulullah SAW juga melakukan back down (mengalah), withdrawing (menarik diri), dan oppose (melawan) ‘jika diperlukan’. (Elli Widia, 2022)
Ini memberi kita pelajaran. Cara masyarakat Arab memindahkan Hajar Aswad adalah contohnya. Padahal ketika itu Rasulullah SAW belum menjadi Nabi. Namun, tanda-tanda kenabian Rasulullah SAW, orang besar, dan manusia pilihan telah diberikan kepadanya sehingga seluruh kabilah Arab mengakuinya. Rasulullah SAW menunjukkan bagaimana kearifan dapat mengatasi perselisihan sosial. Dengan melibatkan semua elemen, setiap orang akan merasa dihargai, dirangkul, dan dimuliakan karena hak mereka. Karena itu Rasulullah SAW disebut sebagai Al-Amin, yang berarti orang yang dapat dipercaya. (Elli Widia, 2022)