Mohon tunggu...
Tri Nugraheny, YBM
Tri Nugraheny, YBM Mohon Tunggu... -

menulis itu susah..tapi lebih susah lagi kalau tidak menulis....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Pahlawan] Sang Penari

10 November 2013   01:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

No. 45  Tri Nugraheny, YBM.

“Merdeka!!!” kata Kopral Tarjo ketika memasuki ruangan ini. “Mana Anggita? Dapat berita apa kalian semalam?” tanyanya. Malam tadi… Anggita membuang seluruh energinya untuk menghibur para penjajah negeri ini. Sebagai penari jalanan, ia memang piawai meliukkan tubuhnya mengikuti irama alat musik. Semua dia lakukan, demi perjuangan bangsa ini. Melalui pertunjukan demi pertunjukan, rombongan penari itu mendapatkan informasi dan senjata dari penjajah keparat itu.

***

Anggita masih pulas. Tidak tega aku membangunkannya. Setelah apa yang ia lakukan semalam. Kupandangi sosok rupawan itu. Sebenarnya, aku juga menginginkanmu, Angga. Mampukah aku mengubahmu menjadi lelaki sempurna?

Wajahnya yang tirus, hidungnya yang mancung memang membuat para tentara itu terpesona. Tidak seorangpun mengira ada rahasia di balik kemolekan wajahnya. Ditambah suaranya yang melengking syahdu ketika menyanyi. Semua akan terpana. Ia bersedia melakukan apa saja di tengah-tengah para tentara. Hanya dengan satu syarat, para tentara itu harus mabuk oleh minuman tradisional buatannya. Entah, magnet apa yang membuat tentara itu menuruti apa keinginan Anggita. Tidak seorangpun menolaknya untuk mabuk. Nampaknya, ia menyembunyikan sesuatu di balik daya tariknya. Rombongan penari keliling Anggita memang menjadi idola. Selain ciu-nya yang bikin mabuk kepayang, ada lagi hal lain yang hanya diketahui oleh anggota rombongan itu.

***

Dulu, ibunya juga berprofesi sebagai penari jalanan. Menjelajahi desa demi desa dan menelusuri kota demi kota untuk mencari sesuap nasi. Ibu Angga dan rombongannya hidup sebagai penari jalanan yang berkecukupan. Hingga akhirnya, negara ini didatangi oleh penjajah. Dan terjadilah malapetaka itu. Singkat cerita, lahirlah Anggita. Anggita kecil lahir dan diberi nama Angga Saputra oleh yang empunya anak. Angga lahir sebagai korban kebiadaban penjajah jahanam.

Wajahnya memang berbeda dengan anak desa kebanyakan. Kulitnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung, matanya yang biru, dan tubuhnya yang tinggi membuatnya terlihat sangat berbeda. Maklum, dia peranakan bule. Namun, Angga belum pernah mengenal sosok bapak yang sebenarnya. Ibunya selalu mengatakan bapakmu sudah mati ditembak penjajah laknat itu.

Angga hidup di lingkungan penari. Walaupun dia terlahir sebagai seorang laki-laki, namun lingkungannya yang didominasi oleh para perempuan penari membentuknya menjadi pribadi yang lemah gemulai. Angga tidak tumbuh sebagai seorang lelaki muda perkasa. Keseharainnya bergelut dengan para perempuan itu membuatnya menjadi beda. Tak ada lagi jiwa lelaki di dalam tubuhnya. Ia lebih suka berdandan dan melulur tubuhnya dibandingkan berlatih pencak silat dengan uwaknya.

***

Anggita bersiap menari lagi. Dibalutnya bagian yang paling menonjol dari tubuhnya seketat-ketatnya agar tidak terlihat dari luar. Tak lupa dia membuat bagian yang tidak menonjol dari tubuhnya menjadi menonjol. Disusupinya kutang dengan kain-kain kecil. Hemmm…sudah terlihat montok, gumamnya lirih. Taklupa, disisipkannya pistol kecil hasil rampasan di pahanya. Setelah rapi, ia segera menemui teman-temannya.

Hai sobat, siap beraksi malam ini?”, kata Anggita

“Sudah dong, ike sudah siap,” balas Lina sok genit.

Anggita hanya tersenyum.

“Bagaimana persediaan ciu kita, Tina? Masih banyak?”, tanya Anggita kepadaku.

Aku hanya menggangguk, menahan hasrat untuk memeluknya. Aku ingin aku memelukmu Anggita, bisikku dalam hati. Aku menggagumimu. Sungguh, aku merasakan daya tarikmu. Entah, aku sendiri tidak tahu. Pesona apa yang ada didirimu.

“Angga, aku ingin bicara padamu,” kataku.

“Ada apa sayangku, Tina? Serius banget,” tanyanya.

Deg…hatiku berdesir mendengarkan suaranya. Sayangku…ah aku ingin selalu mendengar kata-kata itu. Aku mengurungkan niatku untuk membeicarakannya lebih lanjut.

“Ayo, kita berangkat,” kata Ibu Angga.

“Mari,” seru anggota kelompok penari itu.

Sisa-sisa kecantikan masih terlihat dengan jelas di wajahnya. Tak dapat aku pungkiri, Angga pasti mewarisi kecantikan ibunya dan pasti juga ayahnya yang ganteng. Aku membayangkan ayah biologis Angga pasti tampan dan tinggi besar.

***

Malam itu, kami akan dijemput dengan truk. Kami harus mendatangi camp tentara yang mengundang kami. Letaknya agak jauh di pinggir kota. Mereka haus akan hiburan setelah sekian lama di medan perang. Dan mereka menunjuk kelompok kami untuk menyajikan hiburan sekedar melepas kepenatan. Mereka juga mengatakan kalau hari ini ada kunjungan dari pimpinan mereka. Jadi, kelompok penari jalanan harus menyajikan suguhan yang terbaik.

Mereka tidak tahu, kalau camp itu sudah dikepung oleh tentara Indonesia. Dan informasi kedatangan petinggi tentara itupun sudah mereka ketahui. Tentu saja, itu adalah hasil mata-mata Angga dan kelompok penarinya. Angga begitu piawai untuk merayu tentara mabuk itu. Mungkin, hanya dengan mengedipkan matanya, tentara-tentara itu bertekuk lutut di hadapan Angga alias Anggita.

“Sarinah?”,

Kami semua terbelalak ketika ada bule yang menyapa Ibu Angga. Kulihat, wajahnya memerah. Dan dengan tergagap dia menjawab.

“Mr. Andrew?”

“Hello, apa kabar? Kamu masih cantik. Kamu masih menari? Sudah hampir 20 tahun kita tidak bertemu.” kata bule yang dipanggil Mr. Andrew tadi.

Ibu Angga menunduk malu. Ia tidak mampu berkata-kata lagi. Air mata membasahi muka senjanya. Ia menoleh ke arah Anggita.

“Ayo, kapan tariannya dimulai,” seru para tentara.

Semua bergegas menyiapkan diri. Mr Andrew membawa Sarinah ke suatu ruangan.

“Sarinah, aku merindukanmu, Aku ingin mencumbumu seperti 20 tahun yang lalu,” kata Mr. Andrew.

Sarinah terdiam, dia keluar dari ruangan itu. Dengan sekali tepukan, dipanggilnya Anggita. Anggita mendekat. Riuh rendah suara ketipung dan tentara yang mabuk membuatnya mudah keluar dari kerumunan tentara-tentara itu.

“Itu bapakmu,” kata Sarinah.

Mr. Andrew terhenyak. Dia tidak mengira perempuan muda cantik yang berada di hadapannya adalah darah dagingnya sendiri. Mr. Andrew menatap Anggita dengan tajam. Anggita juga kaget mendengar penuturan ibunya. Sementara di luar sana, tentara republik mulai mengepung rumah yang dijadikan markas.

“Anakku? Kau cantik sekali,” kata Mr. Andrew. Kau jangan berbohong Sarinah. Aku hanya menidurimu satu kali saja, kata Mr. Andrew.

“Lihatlah cermin, bandingkan dengan wajahmu. Dan ingat, dia laki-laki,” kata Sarinah.

“Laki-laki? Tapi ia cantik sekali,” katanya.

Tanpa diduga, tentara republik mulai masuk ruangan itu. Seisi ruangan menjadi kacau. Penjajah yang mabuk sedemikian mudah ditakhlukkan. Tidak ada yang melawan. Tak luput, ruangan di mana anak beranak itu juga diserbu.

“Jangan bergerak. Atau kutembak perempuan tua ini!” kata Mr. Andrew. “Dan kau perempuan jadi-jadian, ke luar dari tempat ini. Aku tidak sudi melihatmu lagi. Kau bukan anakku”

Semua mundur dengan teratur. Anggita terhenyak. Darahnya mendidih. Ibu yang sangat disayanginya disandera oleh lelaki yang disebut sebagai bapaknya. Kejantanannya timbul.

“Doooorrr”, terdengar suara tembakan.

Mr. Andrew terhuyung dantersungkur. Dia tidak menyangka sama sekali. Sarinah terlepas dari himpitannya. Ia masih sempat menarik pelatuk pistolnya.

“Dooooorrrrr,”

Sekali lagi terdengar suara tembakan. Tembakan mengenai Sarinah yang sedang berlari ke arah Anggita. Sarinah tersungkur. Untunglah, peluru itu hanya menyerempet kebayanya. Anggita kembali menarik pelatuk pistolnya.

“Dorrrrr..”

Mr. Andrew tersungkur dan tidak bergerak. Sarinah terdiam dan akhirnya terisak. Aku hanya bisa terpana melihat semuanya. Kataku dalam hati, kau tampak begitu gagah Angga.



Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Fiksi hari Pahlawan.link: http://www.kompasiana.com/androgini].

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community. [link: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun