Mohon tunggu...
Tri Apriyadi
Tri Apriyadi Mohon Tunggu... lainnya -

Belajar menulis. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Nature

Nawu Sendang: Strategi Lokal Merawat Alam

15 Desember 2013   06:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:55 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan lah tulisan baru. Ini tulisan lama. Tulisan ini di buat semasa kami melakukan pendampingan masyarakat sekitar hutan di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo. Tulisan ini bagian dari kepedulian kami terhadap alam dan usaha-usaha untuk merawatnya agar tetap terpelihara dan lestari. Semoga saja bermanfaat.

***

Bagi masyarakat Dusun Clapar, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, DIY, bersyukur kepada Sang Pencipta atas segala nikmat yang telah diberikan-Nyaadalah hal yang patut dilaksanakan. Mayoritas penduduk Dusun Clapar bermata pencaharian sebagai petani. tradisional dimana nuansa sinkretisme masih kental. Mereka mengelola lahan dan memanen hasilnya untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk dijual di pasar. Dusun Clapar secara geografis terletak di punggung Pegunungan Menoreh dengan ketinggian 600 mdpl. Kawasan Pegunungan Menoreh, merupakan kawasan perbukitan yang membentang di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Purworejo. Pegunungan ini telah lama dikenal sebagai kawasan memiliki lapisan tanah yang erosif. Bila hujan tiba, lapisan tanah tak mampu mengendapkan air ke dalam tanah sehingga bila musim kemarau, seringkali beberapa desa di pegunungan tersebut mengalami kekeringan karena tak adanya cadangan air tanah. Bencana tanah longsor pun kerap terjadi setiap tahun.

Kondisi alam yang tidak menguntungkan tersebut disikapi oleh warga Dusun Clapar dengan melakukan berbagai bentuk penyiasatan misalnya dengan mengambil tanaman atau kayu di perbukitan secara tidak berlebihan, menanam tanaman yang tidak menyerap banyak air dan memanen hasil buah-buahan untuk menambah penghasilan. Selain itu sikap waspada dan tetap beriktiar kepada Tuhan selalu dilaksanakan. Tak heran bila hasil panen yang melimpah, sumber air yang melimpah dan terhindar dari bencana adalah beberapa hal yang patut disyukuri oleh penduduk Dusun Clapar. Untuk itulah, sebagai rasa syukur, penduduk desa merasa patut mengungkapkannya dengan perayaan dan ritual dua tahunan yang biasa disebut sebagai nawu sendang (Jawa: membersihkan sumber air).

Ritus dua tahunan ini diselenggarakan dua tahun sekali setiap Jum’at Kliwon pada bulan Rajab (salah satu bulan dalam kalender Islam). Tahun ini, waktu penyelenggaraan nawu sendang bertepatan dengan hari Jum’at Kliwon, tanggal 10 September 2004. Ritus ini telah dilaksanakan oleh warga masyarakat selama ratusan tahun secara turun-temurun. Nawu sendang merupakan warisan nenek moyang sebagai salah satu cara dalam memelihara dan merawat mata air yang merupakan sumber kehidupan utama. Mata air (sendang) yang terletak di pusat dusun dan beberapa tempat lainnya dipercaya sebagai sumber kehidupan yang mengayomi dan menyejahterakan penduduk dusun tersebut. Samiran, 67 tahun, salah seorang sesepuh dusun mengatakan bahwa ritual ini sangat penting untuk diselenggarakan untuk tetap menjaga semangat warga dusun. “Nawu sendang diadakan setiap dua tahun untuk mencegah kirih (kurang bersemangat) warga dusun kami, selain sebagai rasa syukur kepada Tuhan,” ungkapnya.

Sudarjo, salah seorang tokoh masyarakat Clapar bertutur tentang kisah awal diadakan ritual nawu sendang di Dusun Clapar ini. Konon katanya, pada zaman dahulu, ada seorang yang sakti bernama Kyai Klopo. Dia adalah salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro ketika bergerilya di Pegunungan Menoreh. Kyai Klopo ini kemudian dipercaya sebagai nenek moyang penduduk Dusun Clapar. Kyai Klopo dipercaya sangat sakti. Kesaktiannya ia peroleh dengan cara bertapa di bawah pohon Ara (kipik). Pada suatu saat, dari celah-celah akar pohon tempatnya bertapa itu, muncullah mata air yang terus mengalir dan tak pernah kering. Sumber air itu, sampai saat ini masih ada dan disebut sebagi Sumber Rejo (sumber kemakmuran). Air yang tak pernah kering itu memberikan kesuburan kepada desa tersebut. Selain itu, Kyai Klopo memiliki kesaktian yang lain yaitu mampu berkomunikasi dengan makhluk dari dunia gaib dan pernah membuat kesepakatan dengannya. Bila ia mati, makhluk itu tetap menjaga kemakmuran di dusun tempatnya bertapa, yang sekarang dipercaya sebagai Dusun Clapar. Makhluk gaib itu sanggup menjaga Sumber Rejo, asalkan tiap dua tahun selalu diadakan ritual Nawu Sendang dengan nanggap (mendatangkan/mengundang) penari tayub dari Wonosari (Kabupaten Gunung Kidul, DIY). Sedangkan Jathilan (Kuda Lumping) adalah simbol kendaraan yang selalu digunakan olek Kyai Klopo, yaitu kuda. Sehingga pertunjukan kuda lumping dalam acara Nawu Sendang merupakan mediasi agar ritual ini direstui oleh nenek moyang mereka.

Pada hari itu, rasa syukur terpancar dari wajah-wajah penduduk Dusun Clapar. Mereka berdandan rapi dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Para perempuan mengenakan batik dan kebaya serta rambutnya disanggul rapi sedangkan para lelaki mengenakan surjan, batik dan mengenakan blankon. Dusun kecil yang terletak di punggung Pegunungan Menoreh dan berpenduduk 700 jiwa itu mendadak menjadi semarak dengan warna-warni pakaian sebagaian warganya yang memang sengaja berdandan rapi untuk mengikuti ritual ini. Suara musik menggema dari arah perbukitan itu. Matahari belum lagi tinggi, beberapa mobil dinas pemerintah daerah setempat mulai berdatangan. Tokoh masyarakat setempat sengaja mengundang pejabat daerah sehubungan dengan ritual ini. Menurut Sudarjo, salah seorang tokoh Dusun Clapar, pihaknya sengaja mengundang pejabat daerah agar acara ini dapat perhatian dari pemerintah daerah baik dari sisi dukungan moril maupun finansial. “Kami juga mengundang teman-teman wartawan untuk meliput acara ini. Kami yakin benar, acara tradisi kami ini memiliki nilai pariwisata yang tak kalah menariknya,” tuturnya.

Masyarakat yang telah berdandan rapi tersebut duduk dengan tenang di halaman rumah Pak Dukuh. Tak berapa lama, acara Nawu Sendang diawali dengan sambutan dari Pak Dukuh dan beberapa pejabat daerah. Acara ini terkesan seremonial khas pemerintah. Setelah acara tersebut selesai, masyarakat membuat barisan sesuai dengan peranan masing-masing. Ada barisan jathilan, barisan sesepuh; juru kunci mata air dan penari tayub (ledek); dan ada pula barisan ibu-ibu yang membawa bakul-bakul berisi makanan yang akan didoakan.

Setelah rombongan berjalan sekitar satu kilometer, sampailah di sebuah tempat yang agak rendah di sekitar bukit. Tempat tersebut ditumbuhi oleh beberapa pohon Ara. Salah satu sumber air yang terletak di pohon Ara terbesar adalah Sumber Rejo—yang berarti sumber kemakmuran, sumber air yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat—yang dilindungi oleh atap bambu dan dikelilingi oleh pagar bambu pula.Konon katanya mata air ini tidak pernah kering, walau daerah sekitarnya mengalami kekeringan.

Tak jauh dari pohon tersebut, terdapat panggung khusus yang terbuat dari semen tempat gamelan dan ledek menari. Rombongan sesepuh, penari dan ibu-ibu yang membawa bakul langsung mengambil posisi di atas panggung. Mereka kemudian membuat formasi mengelilingi panggung. Sedangkan rombongan jathilan mengambil posisi dan mulai menari di tempat lainnya yang tak jauh dari panggung tersebut. Di tengah-tengah panggung, berbagai menu berjejer dengan rapi. Penduduk membawa makanannya masing-masing secara sukarela untuk didoakan agar mendapat berkah. Ada tumpeng lengkap dengan lauk pauknya, nasi putih yang dicetak seukuran mangkok kecil dengan irisan wortel dan tomat di atasnya, ada pula ayam goreng yang masih belum di potong yang biasa disebut ingkung. Nantinya makanan tersebut akan dimakanbersama-sama. Masyarakat setempat menyebutnya dengan acara kepung wakul.

Setelah beberapa saat, seorang pria berusia lanjut melangkah ke tengah panggung. Dialah sang juru kunci Sumber Rejo. Masyarakat di pedukuhan Clapar sering menyapanya dengan Mbah Tani, yang menetap di Kali Ngiwo, sebelah utara Dusun Clapar. Dengan suara lantang lelaki yang sudah sepuh ini mengucapkan salam pembuka, mantra-mantra berbahasa Jawa tentang sejarah, makna ritual ini, serta doa Nawu Sendang. Setelah berdoa, beberapa lelaki memasukkan sesajian di bawah pohon Ara. Prosesi inti ritual ini telah terlaksana dan mulailah gamelan ditabuh. Serentak tiga ledek menuju tengah-tengah panggung dan mulai menembang. Suaranya yang kenes mengajak masyarakat untuk menari sambil sesekali melemparkan sampurnya ke samping. Sementara itu, tak jauh dari panggung tempat ledek menari, rombongan jathilan (kuda lumping) terlihat berbaris untuk mempersiapkan pertunjukan. Sepuluh orang penari yang berkostum kuda lumping dan dua penari yang berkostum babi hutan dengan seragam yang warna-warni bersiap menunggu aba-aba dari sang pemimpin yang memegang cemeti untuk memberi aba-aba.

Penonton bergerombol menyaksikan pertunjukan dari jarak cukup dekat. Penonton yang hadir selain berasal dari dusun celapar juga berasal dari dusun-dusun sekitarnya. Selain itu para pedagang dadakan juga meramaikan suasana. Mereka berjejer-jejer di sepanjang jalan sekitar tempat pertunjukkan. Satu hal yang tak kalah menarik dari ritual ini. Keberadaan penari tayub memberikan arti tersendiri bagi masyarakat yang menonton ritual ini. Ibu-ibu muda, berbondong-bondong membawa bayi atau balita mereka. Ketika ledek selesai membawakan sebuah lagu, mereka melangkah ke tengah arena dan meminta agar sang penari mencium bayi mereka. Dengan mengeluarkan sejumlah uang antara 2000-5000 rupiah yang diletakkan di tempat khusus yang ditutupi kain berwarna kuning emas, bayi mereka akan segera mendapat ciuman dari sang penari. Konon katanya ciuman sang ledek berfungsi sebagai tolak sawan bajang yang akan membuat sang bayi dapat tumbuh sehat,terhindar dari berbagai penyakit.

Ritus nawu sendang ini telah dipersiapkan seminggu sebelumnya. Penggalangan dana untuk acara ini dilakukan secara komunal oleh warga setempat. Setiap kepala keluarga memberikan sumbangan minimal Rp. 7500,-. Seperti diakui oleh Sudarjo, seluruh prosesi ritual ini cukup menghabiskan banyak biaya. “Untuk membayar ledek saja menghabiskan 2 juta rupiah. Belum lagi pemain lainnya seperti kuda lumping, pengangkutan peralatan, konsumsi dan sebagainya,” tuturnya. Meski begitu, dirinya selalu berupaya agar prosesi ini tetap terlaksana. Menurutnya, yang paling utama dari prosesi ini adalah adanya tayuban dan kuda lumping. Konon katanya, kedua hal ini adalah selalu dilaksakan oleh pendahulu mereka dan atas permintaan ‘penghuni’ sumber mata air Sumber Rejo.

“Tahun 1997, kami juga melaksanakan Nawu Sendang. Karena keterbatasan dana, kami pernah mencoba mengganti tayuban dengan orkes campur sari dan tidak nanggap Jathilan. Alasannya saat itu karena mahal, apalagi dalam masa krisis. Tetapi apa yang terjadi? Roh leluhur kami marah. Banyak penduduk yang kesurupan. Melalui salah satu penduduk itu, roh leluhur menyampaikan kalau yang dikehendaki adalah ledek dari Wonosari dan Jathilan,” tutur Sudarjo sungguh-sungguh. Maka dari itu, dia kembali menegaskan bahwa acara ini masih tetap dipertahankan. “Bagaimana pun mahalnya prosesi acara Nawu Sendang, kami tetap berupaya mencari dana, entah dengan cara mengumpulkan uang secara kolektif maupun mencari sponsor dari pemerintah daerah atau perusahaan,” tuturnya tegas.

Suara adzan menandakan mulai masuknya waktu sholat Ashar. Penonton sedikit demi sedikit meninggalkan arena pertunjukan. Satu dua pedagang sudah mulai mengangkuti dagangannya. Suara gamelan yang ditabuh mulai melemahkarena nagayanya sudah mulai kecapaian. Pertunjukan akan segera berakhir. Tak lupa, panitia penyelenggaramengingatkan bahwa malam nanti akan ada pesta masyarakat yang akan diisi denganpertunjukan tayub sampai matahari terbit keesokan harinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun