Jumat 25 Oktober 2024 malam adalah sangat istimewa. Peserta mendapat suguhan wayang gagrak Banyuwangi yang merupakan bagian dari pagelaran Gandrung Sewu 2024. Siapa sangka bisa melihat langsung kesenian wayang gagrak. Sejatinya wayang termasuk Warisan Budaya Takbenda yang telah diresmikan UNESCO Pada 4 November 2008.
Tak sulit mencari tempat pagelaran wayang gagrak Banyuwangi di Boom Marina Beach. Suara tetabuhan gamelan menggema. Menggelegar membelah malam. Mengalahkan suara ombak. Seputar pantai tampak gelap. Sejauh mata memandang hanya hitam yang tampak. Jika tidak ada pagelaran wayang gagrak, suasana malam akan sepi mencekam. Hanya angin membawa suara ombak ke mana-mana.
Pendaran cahaya dari tenda-tenda kuliner membuat tampak gemerlap di kejauhan. Sesampai di tempat, ternyata sudah banyak penyair JSAT yang hadir. Duduk nyaman dan gayeng pada karpet yang digelar di depan pertunjukan. Lesehan bersama warga penggandrung wayang gagrak. Bahkan anak-anak pun sangat menikmatinya.
Suguhannya unik dan menarik, yaitu pala pendhem godhogan. Dalam satu wadah mika persegi panjang ada ubi rebus, singkong rebus, jagung rebus yang dipotong-potong, edamame, kacang godhog. Dengan wadah mika dalam jumlah banyak, dijamin semua penonton kebagian hidangan spesial tersebut. Juga disediakan minuman kopi dan teh panas yang bisa diambil secara swalayan. Selagi di Banyuwangi, penulis menikmati kopi andalan dan unggulan daerah setempat. Hanya sepertiga gelas saja, yang penting rasanya, Bung. Memang nikmatnya beda.
Suara dalang Ki Sanggit Abhillawa, M.Sn. benar-benar mantap menghangatkan Bumi Blambangan. Cerita yang dibawakan juga sangat menarik yaitu serial legenda Prahara Sindurejo. Berkisah tentang kesetiaan seorang istri yang ditinggal suaminya pergi melaksanakan tugas kerajaan. Legenda Prahara Sindurejo menceritakan asal muasal Banyuwangi, yang artinya air yang harum. Pagelaran dikemas menarik. Ada selingan stand up comedy yang membuat malam pecah dengan gelak tawa penonton. Juga ada sinden spesial putri dari salah satu dalang kondang Banyuwangi.
Benar-benar asyik menonton wayang secara lesehan seperti itu. Santai dan makin kenal akrab sesama peserta JSAT. Apalagi sambil ngemil suguhan khas lokal daerah. Kebetulan penulis duduk berdekatan dengan Kak Nor, penyair dari Malaysia. Di antara bercanda, Kak Nor bertanya tentang maksud cerita wayang gagrak yang dipentaskan. Penulis dengan senang hati bercerita tentang Sri Tanjung walau hanya garis besar saja.
Sekitar pukul 21.00 wib. salah seorang peserta mengajak balik ke RBO, beberapa langsung mengiyakan termasuk penulis. Walaupun disediakan kendaraan antar jemput ke mana-mana, tetap harus antri jika pulang berbarengan. Belum lagi jarak menuju desa Kemiren cukup lumayan. Benar saja. Sampai di pintu gerbang Boom Marina Beach tidak tampak satu pun kendaraan penjemput. Artinya, kami harus menunggu.
Jalan raya Banyuwangi termasuk sepi. Kendaraan melaju cepat menuju base camp RBO. Sampai di sana. Sudah ada beberapa penyair menikmati malam sambil ngudut di teras RBO dengan ditemani kopi. Dinding sesek (bambu) membuat suasana malam romantis mistis. Mereka ngobrol gayeng sambil membuat cerita. Penulis dan beberapa kawan memilih langsung pulang ke guest house yang ada di belakang RBO. Ternyata sudah sangat sepi. Hanya lampu-lampu tiap rumah yang setia menjaga gelap. Rasanya hanya kami yang masih kluthusan. Benar-benar senyap.
Menuju rumah tempat menginap, lompongan (gang) makin hitam. Lampu depan rumah dan ruang tamu yang selalu menyala jadi mercusuar. Ibu dan Bapak rupanya sudah tidur dan rumah dikunci. Sri, peserta pelajar dari Jember mengetuk pintu. Ibu yang bangun dengan terkantuk-kantuk membukakan pintu. Kami segera membersihkan diri dan masuk kamar masing-masing. Menyiapakan diri untuk acara keesokan harinya. Selamat tidur." (wul)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H