Di sana, ia membaca buku-buku yang ia sukai saja dan teman saya membiarkannya. Yang paling menginspirasi lagi buat saya adalah, di sekolah tempat anak-anaknya mencari ilmu, tidak ada PR (Pekerjaan Rumah) kecuali membaca.
Saya sebagai guru merasa tertohok. Bagaimana negara sebesar Inggris yang jauh lebih maju dari kita masih menghargai perpustakaan di tengah membanjirnya penggunaan handphone seperti di negara kita? Bagaimana membiasakan anak-anak, murid-murid kita gemar membaca kalau mereka dijejali dengan PR yang tidak mengakomodasi imajinasi mereka?
Perpustakaan harus dihidupkan untuk membentuk karakter murid yang siap menghadapi Revolusi Industri 4.0 dimana tantangan buat mereka tidak hanya robot atau mesin, tapi juga karakter.Â
Murid-murid yang berkarakter kritis, kreatif dan inovatif tidak akan dihasilkan tanpa perpustakaan. Dengan bacaan-bacan fiksi, para murid akan terasah pola rasa dan pikirnya untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan bermartabat.
Sudah menjadi kebenaran umum bahwa siapapun kita tidak akan bisa menulis tanpa membaca. Menulis dengan baik dan menarik hanya dihasilkan oleh aktivitas membaca yang banyak.Â
Awal ketika saya mengikuti kuliah di universitas online ini, saya kaget karena sistemnya adalah membaca minimal 10 artikel atau jurnal yang cukup panjang-panjang dalam satu minggu harus selesai kemudian dibuat bahan diskusi dimana kami disuruh memilih salah satu bacaan yang disukai atau tidak disukai dan menyertakan alasan mengapa kami menyukai atau tidak menyukai bacaan yang kami pilih.Â
Dari diskusi itulah, saya banyak bertukar pikiran dan belajar dari teman-teman yang berasal dari berbagai negara. Di sini, saya merasa begitu pentingnya aktivitas membaca dan berdiskusi.Â
Kedua kegiatan itu pasti memberi pencerahan. Demikian juga apabila hal itu benar-benar diterapkan di sekolah-sekolah kita. Tidak ada PR kecuali membaca, tidak ada tugas yang membuat ketagihan kecuali diskusi.
Sebenarnya pemerintah kita telah cukup memberi ruang untuk pembelian buku-buku baik fiksi maupun non fiksi untuk perpustakaan. Kini tinggal tugas guru untuk menggerakkan murid-murid masuk ke perpustakaan dan berselancar membaca buku apa saja yang mereka minati. Saya merasa betapa pentingnya peran guru dalam menghidupkan perpustakaan. Hidup matinya perpustakaan tergantung pada guru.
Di masa pandemi Covid-19 ini, justru kesempatan emas bagi guru memanggil para murid secara gelombang untuk meminjam buku yang akan dibaca di rumah. Beri tugas pada mereka untuk membaca yang ringan dulu karena tidak mudah untuk mengesampingkan handphone.Â
Kita nasehati mereka bahwa membaca dengan buku fisik jauh lebih nyaman di mata daripada dengan handphone. Tidak lupa kita buat reading camp terdiri dari 5-6 anak per camp melalui group WhatsApp misalnya, untuk mendiskusikan apa yang telah mereka baca. Ini mungkin lebih efektif apabila wali kelas sebagai instruktur programnya sehingga ia bisa lebih memahami murid yang diasuhnya.