Mungkin banyak yang tidak akan setuju dengan pernyataan tersebut. Penggunaan internet, terutama dalam kaitannya dengan tumbuh kembang anak dan remaja, telah mengundang sejumlah kontroversi.Â
Padatnya konten pornografi, kekerasan, dan nilai-nilai yang tidak sesuai moral dan etika masyarakat, membuat paradigma terhadap internet terkesan negatif. Singkatnya, orang tua menganggap internet sebagai musuh yang harus dihindari karena menimbulkan pengaruh yang tidak baik.
Namun, benarkah demikian? Pada kesempatan ini, saya akan membagikan pengalaman kami dalam mendidik anak, seorang anak laki-laki yang kini berusia 6 tahun, dan bagaimana internet memainkan peran yang penting dalam proses itu.
Kecanduan
Anak kami, seperti kebanyakan anak-anak lainnya, tumbuh dekat dengan gadget. Saya, istri, dan anak tinggal bertiga di sebuah hunian yang terletak di pedesaan. Tetangga kiri kanan terbilang jarang. Karena itu, anak kami lebih banyak berada di rumah, menonton televisi, menggambar dan mewarnai, atau sekadar bermain dengan kucing.Â
Kalau sudah bosan maksimal, ia akan meminta izin untuk meminjam ponsel saya atau istri. Awal-awal, ia suka menonton video di YouTube. Ia menyukai konten game Roblox, game mengemudi bus, atau segala yang berisi mobil-mobilan dan jenis transportasi lain. Lama-kelamaan, kami mengamati kok anak ini mengalami perubahan, khususnya dari kosa kata yang digunakan.Â
Padahal kami selalu menjaga bahasa yang digunakan di rumah dan ia juga jarang bergaul dengan anak lain. Ternyata, ia meniru narator video di kanal yang ditontonnya. Kata-katanya terlalu 'dewasa' dan sering bikin melongo.Â
Melihat itu, kami segera mengambil keputusan untuk menyetop kebiasaan menonton YouTube. Apalagi karena kami tidak selalu bisa memantau video yang dipilihnya.Â
Walaupun sebenarnya di sisi lain, ia menjadi lebih lancar berbicara, menyampaikan pendapat dan opini, menjelaskan sesuatu layaknya seorang presenter andal (tetapi dengan bahasa anak-anak yang menggemaskan), gara-gara sering menonton video tersebut. Ia juga mengenal banyak kosa kata baru.
Tidak mudah membuat anak 'sembuh' dari kecanduan menonton di YouTube. Tantrum karena keinginan tidak terpenuhi sudah kami lewati. Ia menangis dan merengek karena 'kangen' dengan konten video favoritnya. Tapi kami bergeming.Â