Mohon tunggu...
Tri Munzilawati
Tri Munzilawati Mohon Tunggu... -

be good people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Salam Pluralitas !!

21 Juni 2012   03:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:43 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

aku sibuk membolak-balikkan buku yang sedari tadi aku pegang. masih berkutak untuk memahami dan meresapi apa maksud dari buku yang sedang ku bawa tersebut. aku merasa belum jelas tentang perkataan dosen waktu pelajaran tadi. beliau menerangkan tentang arti sebuah pluralitas yang saat ini masih susah untuk ditanamkan dalam masyarakat Indonesia. dimana saling  menghargai perbedaan baik itu dalam suku, budaya, ras, bahkan agama sekalipun. bisa kita lihat saat ini bahwa banyak masyarakat yang sudah mulai melupakan apa itu sebuah keberagaman, kebersamaan, dan kerukunan. akhir-akhir ini yang sering ku lihat dan ku dengar di televisi hanya berupa kasus tentang pertikaian dua kelompok masyarakat lah, pembunuhan akibat kesalahpahaman lah, ini, itu, semuanya hanya berputar pada kata pluralitas. kenapa harus dengan cara yang mengerikan hanya untuk menyelesaikan suatu masalah?. aku tahu untuk sekedar memahami apa yang mereka ingin ungkapkan dengan kita itu susah apalagi dengan banyaknya perbedaan tersebut. akan semakin banyak konflik yang muncul akibat kesalahpahaman dalam kita berkomunikasi. semua itu kembali kepada diri kita masing-masing dalam memahami perbedaan tersebut. tidak semua orang mampu dan sanggup dalam memahami perbedaan yang ada disekitar mereka.

tiba-tiba pikiranku melayang jauh dan teringat akan sosok suster yang ku kenal karena dia satu jurusan dengan ku. dia berasal dari timor leste. di tempatnya, dia adalah seorang pengajar yang dengan sukarela mengajar anak-anak demi kesuksesan mereka di masa depan. kalau bukan mereka siapa lagi yang akan meneruskan harapan dan keinginan orang tua mereka ? setiap orang tua pasti berharap anaknya menjadi orang yang sukses. anak yang berguna bagi bangsa dan kalau perlu anak yang dapat menjadi contoh bagi orang lain. aku sangat mengagumi sosok suster itu. aku yang hanya karena tidak dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi yang aku inginkan, kadang merasa kurang mempunyai semangat untuk mengikuti perkuliahan. Rasa bosan selalu menghampiriku saat aku sedang termenung atau saat aku tidak ada kegiatan. Aku   merasa malu dengan suster, dimana dia dengan rela jauh-jauh dari kampung halamannya untuk belajar ke jogja demi memperoleh ilmu dan pengalaman selama di jogja yang dapat ia bagikan kepada anak didiknya dan masyarakat sekitarnya ketika ia pulang ke kampung halamannya nanti.

Sungguh suatu pemandangan yang membuat hati ini trenyuh dan hanya bisa berkata itu adalah tindakan yang sangat mulia dan patut untuk ditiru.

Saking asyiknya ngelamun, tidak sadar kalau di sampingku sudah ada suster yang sedari tadi memperhatikanku. Aku hanya bisa tertawa kecil saja.

“Apa yang sedang kamu lamunkan Ris ?”, Tanya suster padaku.

“Oh, bukan apa-apa kok Sus. Hanya saja aku masih meresapi apa yang disampaikan pak Rudi soal kuliah tadi pagi, dimana beliau mengatakan bahwa perlunya bersikap pluralitas dalam kehidupan sehari-hari. Dan pikiranku langsung melayang ke suster deh ? He..he..he”, jawabku sambil tersenyum.

“Menurut Suster, bagaimana sih caranya agar kita itu tidak selalu berpandangan yang buruk atau negatif ketika melihat orang dari penampilannya ?. Kebanyakan kita melihat seseorang itu dari penampilan luarnya terlebih dulu kan ?”. kataku.

“Ya itu kembali kepada diri masing-masing pribadi orang. Karena tidak semua orang sama dalam phal persepsi. Ada yang langsung menjudge orang yang pertama kali dilihatnya dengan pandangan yang buruk. Misalnya dari pakaiannya yang seperti preman, rambut yang dicat berwarna-warni, bertato, atau bahkan bisa juga melihat karena aksesoris yang melekat di tubuhnya. Aku dulu pernah berkunjung di suatu daerah di Malang. Disana ada sekelompok orang-orang yang persis seperti yang aku sebutkan diatas tadi. Awal ketika aku memandang mereka, aku beranggapan bahwa mereka pasti orang-orang yang tidak memiliki kepribadian yang baik alias nakal. Tetapi, aku amati lebih jauh lagi saat ada seorang nenek yang sedang kesusahan mencari alamat cucunya, mereka dengan segera langsung membantu nenek tersebut. Bahkan sampai mengantarkan nenek tersebut ke alamat yang dituju. Ada juga beberapa orang yang membantu untuk mengangkut barang-barang belanjaan para ibu-ibu ketika di pasar. Selain itu, ada juga yang menjadi petugas dan tukang sapu di pasar. Prinsip mereka adalah walaupun kami dianggap kayak preman, tetapi hati kami tetap mulia man !. Bukankah itu suatu bentuk pembuktian yang sungguh luar biasa ?”, kata Suster.

“Wah, beda jauh ya sama anggapan orang saat ini. Aku pun juga merasa bahwa kita itu juga belum tentu lebih baik dari mereka. Atau bisa juga kita malah lebih buruk dari mereka. Jadi, jangan memandang orang dengan sebelah mata”, Sahutku.

“Betul banget Rista !”, jawab Suster sambil mencubit pipiku.

Aku merasakan suasana yang sangat indah dan penuh dengan semangat kebersamaan yang dibalut dengan sikap pluralitas yang begitu erat. Aku berusaha untuk selalu welcome terhadap orang yang ku jumpai walaupun beda suku, agama, dan budaya. Karena dengan rasa saling menghargai tersebut dapat membuat keutuhan dan kesatuan bangsa dapat tetap terjalin. Perbedaan pun bisa diminimalisir ketika kita mampu untuk menerima orang lain tanpa memandang derajat dan menerima orang tersebut baik dalam maupun luarnya orang tersebut. Banyak sekali orang luar Jawa seperti dari Sumatera, Sulawesi, Lampung, bahkan ada yang dari Batam pun sampai rela untuk kuliah jauh dari sanak saudara dan keluarga demi sebuah pengabdian yang mereka jalani untuk merubah segala bidang aspek kehidupan bangsa ini. Layaknya nenek moyang bangsa kita yang siap menerjang dasyatnya ombak laut, angin kencang, bahkan sampai nyawa pun diperjuangkan demi anak cucu mereka agar tetap hidup dan mengenang apa yang selama ini mereka perjuangankan untuk membangun negeri ini. Aku hanya bisa mengelus dada ketika era ini banyak generasi muda yang tidak tahu bahkan acuh tak acuh dengan berbagai peristiwa yang membuat perpecahan antar suku, bangsa, dan agama. Apakah ini yang kita dapat kita berikan untuk para pendahulu bangsa kita ?. saatnya bagi kita untuk berdiri dari keterpurukan ideologi yang selama ini mengekang dan memenjara angan serta impian bangsa kita. Mulailah untuk belajar dari setiap perbedaan yang ada disekitar kita, karena dari situlah kita akan tahu apa makna dan arti sebuah kehidupan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun