Mohon tunggu...
Tresnani Suci Nurani
Tresnani Suci Nurani Mohon Tunggu... -

Mahasiswi semester 7 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia peminatan Manajemen Asuransi Kesehatan. Vice General Manager HAPSA FKM UI 2014.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Catatan Hati Korban JKN

31 Oktober 2014   15:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:04 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

semua nama dalam cerita ini disamarkan untuk menghindari kontroversi yang mungkin terjadi di masa depan.

Seperti kita ketahui sejak 1 Januari 2014, Indonesia menyentuh era baru dalam dunia kesehatan. Ya, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) resmi diterapkan sebagai sistem asuransi sosial di Indonesia. Sampai bulan Oktober ini, begitu banyak headline di berbagai media massa yang menyorot pelaksanannya. Sebagai salah seorang mahasiswa manajemen asuransi kesehatan, saya termasuk orang yang mendukung adanya program mulia ini di Indonesia. Akan tetapi setelah mengalami sendiri proses pelaksanaan JKN, saya menjadi realistis bahwa JKN itu sendiri masih membutuhkan banyak perbaikan dalam pelaksanaannya

Terhitung sejak bulan Juni 2014, saya merasakan ada beberapa perubahan dalam tubuh saya. Di leher saya sebelah kanan, ada benjolan yang cukup aneh. Semula hal ini sudah terjadi ketika saya masih duduk di bangku SMA, akan tetapi saat itu keluarga saya memutuskan untuk menggunakan obat tradisional dan ia pun kempes. Akan tetapi, saya khawatir jika benjolan ini ternyata adalah sesuatu yang jauh lebih serius dan membutuhkan lebih dari sekedar ramuan tradisional. Maka saya memutuskan untuk menggunakan hak saya sebagai peserta mandiri BPJS Kesehatan. Pada bulan Agustus, saya mencoba mendatangi faskes primer tempat saya terdaftar sebagai peserta. Diagnosis dokter saat itu adalah SNNT (Struma Nodusa Non Toksik) menurut Sri Hartini dalam Ilmu Penyakit Dalam FK UI (1987:461) yaitu kondisi pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul atau lebih dari satu nodul tanpa disertai tanda – tanda hipertiroidism. Akan tetapi karena sesuai formularium nasional yang telah diterbitkan bahwa tidak ada tindakan untuk SNNT dalam fase pelayanan primer, dr. Y merujuk saya ke RS X, salah satu rumah sakit swasta di Depok. Beliau juga memberitahu saya kelengkapan yang harus saya bawa sebagai pasien BPJS berupa kopian surat rujukan, KTP serta kartu peserta JKN saya.

Akhirnya setelah seminggu menerima surat rujukan, saya memeriksakan diri ke RS X. Sayangnya ketika saya datang kesana, resepsionis menyampaikan bahwa semua dokter penyakit dalam (sesuai dengan surat rujukan saya) tengah berada di luar rumah sakit mengikuti seminar sampai pekan berakhir. Tidak pernah menduga akan menghadapi kondisi ini saya pulang dengan tangan kosong.

Besoknya setelah menjernihkan pikiran saya, saya datang kembali kesana untuk membuat jadwal untuk pekan depan dengan dokter yang ada. Akan tetapi hari itu RS X membuat peraturan baru bahwa khusus pasien BPJS tidak boleh membooking jadwal dengan dokter sejak jauh hari tetapi  2 jam sebelum praktik dokter yang bersangkutan dibuka pada hari tersebut dan akan ditutup ketika jam praktiknya dimulai. Lagi – lagi, saya kembali dengan tangan hampa.

Seminggu kemudian, saya memutuskan kembali ke RS X bersama rekan saya. Sesuai peraturan rumah sakit, kami tiba dua jam sebelum praktik dr. A, Sp.Pd dimulai pada pukul 18.30 WIB. Kami tiba sekitar jam lima sore dan langsung mendaftarkan diri serta mendapatkan antrian nomor 23. Setelah menunggu sekitar 4 jam akhirnya saya masuk ke ruang praktek dr. A. Ternyata, diagnosis dr. A berbeda dengan dr. Y sehingga beliau memutuskan saya untuk menjalani tes laboratorum berupa tes darah untuk mengetahui kandungan hormon free T4 dan TSH sensitif karena saya diduga kekurangan atau kelebihan hormon tiroid sehingga terjadi pembesaran kelenjar tiroid.

Keesokan harinya saya kembali ke RS X sambil membawa persyaratan yang ada untuk menjalani tes laboratorium. Ketika tiba giliran saya, perawat di unit laboratorium menolak saya. Ia beralasan bahwa pemeriksaan yang akan saya ajukan tidak ditanggung oleh BPJS dan saya harus membayar Rp. 520.000,00 jika ingin tetap dites. Saya memutuskan mundur dan duduk terlebih dulu menenangkan diri. Berbekal kontak pegawai BPJS KCU Bogor yang saya dapatkan semasa saya magang disana, Kak W, saya mengadukan kondisi saya padanya. Beliau mengatakan bahwa semua pemeriksaan harusnya ditanggung oleh BPJS, ia menyarankan saya untuk meminta surat rujukan ke rumah sakit lain apabila RS X tetap menolak permohonan tes laboratorium saya. Kemudian, saya memberanikan diri untuk meminta kejelasan pada seksi informasi RS X, setelah cukup lama menunggu akhirnya mereka mengeluarkan surat rujukan ke rumah sakit terkenal di Jakarta Selatan yang juga bekerjasama dengan BPJS. Tetapi, mereka hanya memberikan surat rujukan parsial (sebagian) untuk saya yaitu surat rujukan permohonan tes laboratorium saja. Padahal, sesuai testimoni Kak W, rujukan yang akan diproses oleh rumah sakit tersebut harus rujukan total artinya rujukan ke poli penyakit dalam pula. Feeling frustated, saya kembali pulang dan memutuskan menghentikan upaya saya. Saya memutuskan akan memeriksakan diri ketika saya di kampung halaman saja.

Saya membaca ulang UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS, Perpres No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan serta Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang perubahan Perpres No. 12 tahun 2013. Sesuai dengan Perpres No. 111 tahun 2013 pasal 22 (1) bagian b tentang pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang dijamin oleh BPJS salah satunya adalah pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis. Pasal 25 (1) juga menegaskan pelayanan kesehatan yang tidak dijamin antara lain pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur; pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan kecuali keadaan darurat; pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh jaminan kesehatan kerja atau cedera akibat kecelakaan kerja; pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh jaminan kecelakaan lalu lintas; pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri; pelayanan kesehatan untuk tujuan estetika; pelayanan untuk mengatasi infertilitas; pelayanan ortodonsi; gangguan akibat alkohol/narkoba; pengobatan tradisional yang belum teruji secara klinis; tindakan eksperimental medis; alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi dan susu; perbekalan kesehatan rumah tangga; pelayanan kesehatan akibat bencana dalam masa tanggap darurat serta KLB; biaya pelayanan kesehatan pada preventable adverse events dan terakhir biaya pelayanan kesehatan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan manfaat JKN. Setelah mendiskusikannya dengan pegawai BPJS terkait, tindakan laboratorium yang saya cari seharusnya masuk kedalam paket manfaat yang dijamin karena ia merupakan tindakan untuk menegakkan diagnosis dokter yang bukan tindakan estetika ataupun tindakan yang saya minta dari dokter.

Hal ini merupakan salah satu tumpukan gunung es dari masalah – masalah yang ditimbulkan JKN selama hampir 10 bulan pelaksanannya. Masih banyak kasus diluar yang saya alami yang lebih buruk bahkan ada pasien yang mau tidak mau mengeluarkan uang mereka sendiri apabila dalam kondisi benar – benar membutuhkan pelayanan kesehatan ditambah belum banyak masyarakat yang memahami mekanisme JKN.

JKN harus dihentikan? Saya kira tidak. Meskipun saya juga menjadi korban mismatching pelaksanaannya, saya kira ini adalah fase yang wajar bagi program baru seperti JKN untuk menghadapi banyak masalah agar BPJS Kesehatan selaku badan penyelenggaranya semakin berbenah diri. Tidak dapat dipungkiri kesuksesan JKN bukanlah kerja tunggal BPJS Kesehatan saja, pihak Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) serta kita selaku pengguna juga merupakan bagian besar dari keberhasilan program ini. Melalui artikel ini, saya menghimbau jika ada barangkali rekan atau kenalan pembaca yang menghadapi masalah serupa untuk tidak segera membayar biaya yang diminta, coba komunikasikan dengan call center BPJS atau cari BPJS Center yang berada di rumah sakit yang bersangkutan. Saya juga berharap akan ada lebih banyak orang yang menjadi pengawal pelaksanaan JKN, menyuarakan kesalahan yang mungkin kita temui untuk sama – sama mewujudkan universal coverage 2019, untuk kesehatan Indonesia yang lebih, lebih, dan lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun