Aku mendengar derapnya mendekat. Derap decit yang hanya dimilikinya di dunia ini. Kemudian dia duduk di depanku. Tersenyum. Kami memesan kopi. Biarpun percakapan sore ini tak akan membuat kami mengantuk, kami tetap memesan kopi.
“Jadi..”ia terhenti. Memainkan cangkirnya gelisah. Mata kami bertemu. Dan mereka bercakap – cakap sejenak, mewakili bibir kami yang membeku.
“Terima kasih” aku memecah keheningan. Ia mendongak, memastikan aku tidak menangis. Aku menatapnya. Memastikan ia tidak melihat air mataku. Ia berdiri,”Maafkan aku”. Kemudian berlalu.
Aku menatap cangkirnya. Masih penuh kopinya. Tanda ia datang sore itu untukku, bukan untuk kopinya.
Aku mengelus cangkirnya. Sudah dingin. Tanda ia datang sore itu untukku. Untuk menyampaikan hatinya.
Sampai nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H