Memang tidak semua kebijakan mampu berjalan dengan baik, banyak juga kebijakan yang bertujuan baik tetapi dianggap bertentangan dengan kebijakan lain. Hal ini dapat dilihat dalam pemberian grasi oleh Presiden kepada Meirika Franola (42) alias Ola. Memang Grasi merupakan hak prerogratif Presiden melalui pertimbangan Mahkamah Agung. Namun pemberian grasi kepada Olla dianggap bertentangan dengan upaya pemberantasan narkoba. Terlepas dari siapa yang bersalah, entah Presiden atau yang memberi pertimbangan dalam hal ini Mahkamah Agung, namun grasi ini tidak bias dicabut begitu saja. Meski dalam tatanan hukum formal tidak ada larangan pencabutan grasi, pencabutan grasi melanggar konvensi dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain itu, tidak ada alasan materiil seperti kesalahan identitas penerima grasi untuk mencabut grasi yang telah diberikan kepada Ola. Upaya yang harus dilakukan adalah mengevaluasi mengapa Ola dapat mengendalikan bisnis narkoba di lembaga pemasyarakatan dan segera memproses hukum kasus ini. Tentu saja hal ini berimbas pada munculnya ada mafia dilingkungan istana yang memudahkan Olla untuk mendapatkan Grasi.
Memang persoalan kemanusiaan yang menjadi dasar Presiden memberikan grasi kepada Olla adalah hak setiap orang dan Negara harus melindunginya. Tetapi pemberian grasi ini dianggap melindungi kemanusiaan hanya bagi pengedar narkoba, tetapi mengabaikan pihak korban dari kejahatan narkoba itu sendiri. Polemik kembali muncul ketika Olla disebut-sebut bermain kembali dalam bisnis haram tersebut. Jika memang ini benar terjadi maka grasi yang banyak pihak menentang, menjadi sia-sia. Dan jika tertangkap kembali, Olla harus dihukum yang lebih berat sesuai dengan Undang-Undang.
Persoalan lain muncul ketika terjadi perselisihan antara KPK dan POLRI. Kedua lembaga Negara saling mnganggap institusi masing-masinglah yang berwenang untuk menyidik kasus korupsi yang menjerat salah satu petinggi POLRI. Banyak pihak yang mendukung KPK untuk menangani kasus ini, sesuai denganUndang-Undang Nomor 30 Tahun 202 tetang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu dalam pasal 50 ayat 3 dan 4, UU No 20 Tahun 2002 tentang KPK, menyebutkan: Ayat 3: "Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan".
Pasal 4: "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan tersebut segera dihentikan".
Tentu saja hal ini membuat banyak pihak mendukung KPK. Selain itu KPK dinilai sebagai Lembaga yang independen dan tingkat kredibilitasnya dinilai masyarakat tinggi, dibandingkan dengan Polri yang banyak dianggap berbagai pihak tidak mampu menindak jenderal tersebut dengan objektif dan banyak yang memprediksi jika kasus ini ditangani oleh POLRI maka akan muncul skenario-skenario tertentu yang akan menguntungkan Djoko Susilo.
Dari perspektif ketatanegaraan Presiden sebenarnya bisa memerintahkan POLRI untuk menghentikan penyidikan, karena POLRI berada di bawah kedudukan Presiden. Hal ini sesuai dengan pasal 8 dan pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas kedudukan Polri yang langsung di bawah Presiden, selain itu sesuai dengan kontitusi pasal 10 yang menyebutkan bahwa Presiden merupakan Panglima tertinggi angkatan darat, laut maupun udara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H