Karena kita adalah homo significant (Pierce, Sanders) maka kita pun membangun dan mencari makna.
Antara Status demi status dalam 'home' Facebook hingga RSS twitter pada akun Facebook, untuk tujuan yang sama, menyatakan sesuatu melalui sekian karakter untuk berbagai tujuan. Tiap facebooker membangun polanya masing -masing yang seringkali menyiratkan karakter atau kepribadian si facebooker.
Jadi, apakah menyatakan status adalah sama dengan ber' twitting' ? yang tidak selalu harus di lakukan di twitter. Akan tetapi, pada kelasnya, Twitter membentuk sebuah genre baru ( mikrobloging) dalam dunia jejaring sosial yang lebih luas jangkauannya, namun dengan muatan yang spesifik. Bagi Facebook, status hanyalah sebuah feature mendasar, sama halnya foto dan info diri, ( atau analogi saya, status berfungsi sebagai mulut dan bibir kita) namun bagi twitter, twitting merupakan tulang punggung aktivitas jejaring sosial tersebut bersama kegiatan buntut membuntuti atau following.
Perbedaan mendasar dari kegiatan serupa merangkai kalimat tersebut pada FB (status) dan Twitter (twitting), bisa kita lihat dari dua segi, teknis dan prinsip. Secara teknik, FB memberikan keleluasaan sebanyak 422 karakter, sedangkan twitter 140-an karakter. Keduanya bisa di set sesuai preferences, kepada siapa kita tujukan rangkaian kalimat tersebut atau saya kategorikan sebagai internal atau eksternal. Secara prinsip dan ini yang menyulitkan saya untuk menjelaskannya secara semiotik agar tidak membosankan dan tidak melulu menggunakan istilah -istilah semiotik.
Tapi mari kita berangkat dari definisi kata twit supaya kita memiliki kontrak atau konteks tentang kavling yang kita bicarakan ini. Twitting, seringkali lebih pas kita artikan sebagai upaya untuk menggoda, mengejek atau menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak di sukai ( dalam hal ini dengan pernyataan atau kalimat). Atau untuk menyatakan penentangan, ketidaksetujuan kita terhadap orang lain atau sesuatu hal, termasuk mencari -cari kesalahan orang lain. Twit bisa juga di artikan sebagai seseorang yang bodoh. Namun kita tidak akan membahas twitting dalam definisi terakhir, melainkan sebagai sebuah deretan kalimat yang menggoda, mencemooh, atau mencari-cari kesalahan tentang sesuatu atau seseorang. Sedangkan status ( yang secara harviah menyatakan keadaaan seseorang atau embel-embel seseorang) menjadi bersifat begitu umum, luas, merambah wilayah twitting atau seolah -olah bisa 'semau gue'.
Keduanya merupakan produk peradaban post modernisme yang mendukung keterbukaan sampai pada taraf 'exhibitionisme'. Istilahnya, bila dulu media hanya menjadi wilayah mereka yang 'terpilih', namun pada era post modernisme ini, media menjadi wilayah siapa saja. Kedua produk ini mewakilinya secara baik.
Sebagai sebuah komposisi norma dan makna, Facebook bertujuan awal sebagai sebuah media interaksi dalam lingkungan internal. Pada perkembangannya, facebook merambah lingkungan eksternal dan mengukuhkan posisinya sebagai yang terhandal dalam industri 'interaksi sosial virtual' yang membutuhkan keintiman nyata. Sedangkan Twitter, mengambil makna kontekstualnya, masih dengan fungsinya sebagai komposisi norma dan makna, berfungsi sebagai media interaksi yang tidak seintim facebook namun dengan jangkauan yang lebih luas. Dalam Twitter, pengguna berlomba untuk menarik perhatian (followers) dengan twitting-nya yang mengindikasikan siapa si twitter tersebut, apa hobinya, tingkat kedalaman pengetahuannya, selera humornya bahkan agressi mentalnya. Melalui twit dari waktu ke waktu itulah, interaksi yang sebenarnya terjadi. Pada twitter, orang tertarik dengan isi atau topik twitter, dan pada status FB, facebooker seringkali tertarik dengan si individu.
Dalam kaitannya sebagai homo significant, manusia membangun dan mencari makna. Dalam kasus facebook dan status, faktor emosi menjadi dasar bagi terjalinnya suatu interaksi ( baik di kehendaki ataupun tidak). Sedangkan Twitter, emosi di tempatkan pada satu kotak di mana dia bisa di gunakan bisa tidak, sebab konvensi interaksi dalam twitter hanya terikat pada twitting yang sebenarnya lebih enak di analisis melalui sintaksnya di banding paradigmanya. Dua yang terkahir ini, sintaks dan paradigma akan saya jelaskan pada bagian berikut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H