Satu minggu di tahun baru cina, Macan metal, yang berbarengan dengan hari valentine. Pikiran saya melayang -layang mengingat semua penjelasan Helen Fisher dalam Why We Love yang sebenarnya melulu tentang antropologi cinta. Sangat ingin sebenarnya menulis tentang hal yang satu itu, tapi sebenarnya saya masih gentayangan dengan pembahasan soal BULE kemarin dulu. Dan ya, saya memang tidak akan menyudahinya, karena ini memang telah menjadi salah satu fokus saya.
Setahun yang lalu, ketika saya sedang menelusuri alam maya untuk mendapatkan gambaran tentang perkawinan campuran, saya menemukan satu buku di tulis oleh seorang perempuan Indonesia yang menikah dengan wartawan Australia. Saya tidak yakin ingat judulnya, tapi informasi ini akan saya up-date bila ada perkembangan. Yang jelas, buku ini di bahas di salah satu web site yang kemudian menuai banyak komentar. Bagi saya, benang merah dari semua itu pada akhirnya adalah, klise: Perempuan Indonesia mengeluh Bule kurang bisa di ajak serius, mau sex saja, sedangkan di lain pihak, ada juga Bule yang ternyata putus asa, dan mendambakan adanya buku di pasaran yang memberi tips kepada mereka bagaimana caranya menggaet perempuan Indonesia.
Nah, sekarang kita melompat masuk ke pembahasaan Hook up culture. Tidak sengaja kemarin saya terdampar di salah satu situs yang asyik punya, terutama bagi saya gaya penulisannya. Sebut saja situsnya Nicole. Di situ dia membahasa tentang budaya hook up. Suatu budaya yang tidak saya pahami karena saya tidak tumbuh pada budaya itu. Jadi mendapatkan tulisan dia tentang hook up melalui situsnya itu, suatu angin segar bagi saya. Artinya saya menjelaskan sesuatu yang tidak berada di ladang saya atas penjelasan orang yang memiliki ladang itu.
Seperti biasa, saya yang sensitif dengan detil kemudian berpusing -pusing ria mencari arti kata hook up, baik dari definisi dasar sampai yang metaforik. Dan yang di maksud dalam situs nicoleisbetter, tentu saja hook up dalam pengertian kamus urban, yaitu kongkow bersama laki-laki dan perempuan (tergantung preferensi masing -masing) entah untuk minum, menonton film atau konser, yang setelah menu utama (nonton dll) selesai, mereka masih mau kongkow ronde ke dua, di lain tempat. Bisa di tempat salah seorang dari mereka. Nah, di sini, kadang kamus urban memahami hook up sebagai kegiatan seksual mulai dari ciuman sampai yang lain - lain. Namun kegiatan seksual dalam hook up harus terjadi di antara mereka yang bukan pasangan kencan atau kekasih dalam arti formal.
Dan karena umumnya di lakukan di bawah pengaruh alkohol atau bahkan obat, jelas setiap orang cenderung lupa pada peristiwa 'semalam' tersebut. Namun kemungkin bahwa peristiwa demikian terulang pada minggu - minggu berikut, jelas iya.
Kembali ke permasalahan Bule dan perempuan Indonesia pada konteks budaya kota besar seperti Jakarta. Atau gampangnya mungkin kita harus mengingat lagi uraian -uraian dari buku Jakarta Under Cover. Dan kemudian kembali tersudut dengan berbagai opini: Bule hanya cari sex, dan perempuan Indonesia hanya mau uang. Untuk kemudian kita bandingkan lagi dengan opini minor bahwa Bule pun butuh panduan untuk bisa mendapatkan Perempuan Indonesia yang dianggapnya pas.
Saya melihatnya demikian, di pasar perjodohan (Serius, secara demografi memang di sebut begitu: pasar) ternyata berkembang berbagai permintaan. Bagi mereka yang merasa cocok dengan pasar 'hook up', tentu mereka tidak pusing untuk mengembangkan permintaan (demand), tapi bagi sebagian yang siap atau ingin atau sudah melepaskan pasar hook up, tentu harus mulai mengembangkan demand.
Secara teori, laki -laki siap meninggalkan pasar hook up dan masuk ke pasar perjodohan pada usia 26 tahun, ketika produksi testoteron mulai menurun secara alami. Bagi perempuan, tentu tidak demikian, karena pada prinsipnya perempuan selalu berorientasi pada pasar perjodohan. Nah, dalam kasus para bule yang melemparkan permintaan ke pasar perjodohan di Jakarta misal, akan mengalami kemasygulan karena pasar mereka begitu terbatas dan masih overcrowded dengan pasar hook up yang mungkin tidak mereka inginkan lagi.
Masalah menjadi semakin rumit ketika mereka menyadari bahwa mereka telah gagal beradaptasi dengan budaya lokal. Salah satu indikator termudah bahwa mereka tidak gagal dalam adaptasi budaya adalah mereka berbahasa Indonesia. Atau lebih baik lagi, hidup dengan cara orang Indonesia hidup misal, makan di warung kaki lima!. Saya tidak tahu persis kenyataan di lapangan bagaimana, akan tetapi, mengingat penjelasan salah satu bartender perempuan dalam SME (Small Medium Enterprenur book), bahwa para eksekutif bule yang menghabiskan malam di bar, esok paginya berubah menjadi orang lain, beda karakter, beda sikap. Jadi seperti ada dua dunia. Dan ini makin menyulitkan bagi perempuan Indonesia untuk menentukan sikap. Apakah ikut aturan main si bule atau ngotot memaksakan aturan main dirinya sendiri?
Di sini mungkin akhirnya perempuan Indonesia beropini : Bule hanya untuk fun, dan para bule beropini: perempuan Indonesia mau duit saja ( jadi kalau ada duit ya ada seks donk). Begitu mungkin nalar mereka bicara. Terlebih dengan di mulainya usuk -usuk biaya jaminan 500 juta meniru Mesir dalam pernikahan campuran, Bule makin yakin bahwa Perempuan Indonesia memang komoditas bagus di pasar perjodohan barangkali.
Jadi, apa saran untuk perempuan Indonesia dan apa saran untuk Bule? agar suply dan demand menjadi imbang di pasar perjodohan? . Silahkan berbagi di sini, dan nanti komentar -komentar yang anda berikan akan saya kembangkan menjadi artikel berikut.