Mohon tunggu...
trecy bedkowska
trecy bedkowska Mohon Tunggu... -

Hai! Senang rasanya bisa menyapa kompasianer lagi setelah sejenak menenggelamkan diri dalam aktivitas lain. Kali ini, saya ingin merasa lebih dekat dengan Kompasianer. Dan mungkin ini akan merubah sedikit format tulisan saya menjadi lebih personal. Enjoy:)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konflik dalam Berpikir Ilmiah

11 Februari 2010   19:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:58 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan ini kembali mengiringi rangkaian tulisan sebelumnya, yang membahas masalah plagiarisme dan di mana posisi pengetahuan hasil plagiarisme dalam dunia ilmu pengetahuan. Kaitan antara plagiarisme dengan berpikir ilmiah dalam bahasan kali ini berfokus pada kultur berpikir ilmiah yang diwujudkan dari pola pikir yang terukur dan teruji menurut norma yang dianut oleh disiplin tertentu. Disiplin tertentu ini terkait dengan dua paradigma utama dalam kultur scientifik, yaitu positivist dan empiricist, yang selanjutnya bisa di sebut sebagai metode berpikir kuantitatif bagi positivist dan kualitatif bagi empiricist.

Secara sederhana, positivist di pahami sebagai sesuatu yang benar -benar terukur dan teruji, syukur terkendali sehingga dapat diandalkan hasilnya. Ilmu-ilmu eksakta yang akrab dengan angka dan rumus, dianggap mewakili disiplin ini. Sedangkan ilmu -ilmu sosial yang akrab dengan fenomena sosial, yaitu peristiwa sehari -hari yang tidak atau sulit di formulasikan ke dalam angka atau rumus, mewakili disiplin kualitatif. Dan karenanya, dunia ilmu pengetahuan saling berperang untuk mengukuhkan siapa diantara keduanya yang berhak di gelari 'paling' scientifik. Pada akhirnya, perjalanan keduanya menghasilkan suatu kepercayaan bawah sadar, seolah - olah paradigma kuantitatiflah pemenangnya dan paradigma kualitatif pun menyandang gelar 'pseudoscientific' atau banci ilmiah. Akan tetapi tuduhan tersebut tidak mutlak atau absolut sehingga mampu mengikis kepribadian kualitas kualitatif suatu metode.

Apabila dua paradigma ini memiliki sifat, maka metoda kuantitatif cenderung mewarisi kemaskulinan seorang lelaki dan metoda kualitatif, kendati di yakini sebagai 'banci' toh tetap lebih mewarisi kefemininan wanita. Metode kuantitatif, begitu yakin akan kualitas keterukurannya, keandalannya, keterujiannya bahkan sampai pada taraf bahwa ketika usaha pengimitasian pengukuran tersebut di lakukan, hasil yang serupa masih bisa di harapkan. Metode kualitatif mengalir seperti air mengikuti peristiwa sosial dari waktu ke waktu, seolah -olah hasil pengukuran mengikuti haluan angin. Tidak hanya metode kulaitatif ini bergerak fleksible dari waktu ke waktu, dia juga ekstensif, begitu luas jangkauannya menerabas banyak pakem, kadang juga merampas medan kuantitatif. Mungkin karenanya si kualitatif ini mendapat julukan 'banci'.

Kendati olok-mengolok ini berlangsung dari waktu ke waktu, yang paling mendasar dari sebuah sikap ilmiah adalah berdisiplin pada logika sistem ilmu pengetahuan yang dianut. Pada akhirnya, logika tersebut yang akan menentukan alat bagi kebutuhan pengukuran dan pengujiannya. Setidaknya di kenal dua alat utama yaitu angka dan bahasa. Pun penggunaan keduanya silih berganti dalam proporsi tertentu. Akan tetapi jelas, metode kualitatif banyak bekerja dengan bahasa dan simbol sebagai alat utama untuk mencapai tujuan.

Perkembangan terbaru dalam dunia penelitian sosial dengan metode kualitatif adalah dipersoalkannya etika dari beberapa cara yang digunakan dalam pengumpulan data, misal interview dan pengamatan terlebih di mana keterlibatan si peneliti bersifat langsung namun tidak di sadari oleh objek yang di teliti (penyamaran termasuk di dalam metode ini).

Sejenak saya berpikir, bahwa mungkin 'perang dingin' antara metode kuantitatif dan kualitatif memang belum selesai. Positivist tetap masih 'ngotot' ingin agar empiricist menjadi lebih positivist. Namun thesis para empiricist adalah " bagaimana bisa bila sifat dan disiplin objek penelitiannya saja begitu berbeda?'.

Paradoks nya justru demikian, tidak semua hasil dari kedua metode scientifik tersebut sah berdasarkan norma masing -masing disiplin. Plagiarisme adalah salah satu aksi yang menggugurkan kesahihan suatu hasil pemikiran ilmiah, yang kemudian mungkin bisa dikategorikan ke dalam 'junk science'. Namun penggunaan istilah 'junk' ini juga belum mendapatkan kesepakatan, sebab penelitian yang diboncengi dengan kepentingan tertentu juga masuk dalam kategori 'junkie' tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun