Kompasianers, Lega rasanya bisa kembali memenuhi janji mengulas Birkenau. Kendati tidak lega juga, sebab Birkenau juga bukan subyek yang mudah untuk di bahas. Jadi, setelah beristirahat makan siang di Auaschwitz, kami menuju Birkenau yang hanya di tempuh selama sepuluh menit berkendara. Birkenau merupakan proyek perluasan dari Auschwitz yang memang di bangun khusus untuk kamp exterminasi ( artinya, kalau di kirim ke Birkenau, pasti akan berakhir di Kamar gas). Birkenau ini merupakan wilayah yang terisolasi dari peradaban. Tidak ada penduduk di sekitar Birkenau. Beda halnya dengan Auschwitz yang secara alami memiliki penduduk tetap di sekitar kamp. Birkenau, di kelilingi oleh hutan. Salah satu ciri yang konsisten pada semua kamp konsentrasi adalah, adanya rel kereta api yang dekat dengan kamp, karena hanya dengan cara itulah mereka di transportasikan. Di Birkenau bahkan rel kereta api ini berada dalam wilayah kamp. Dan merupakan sebuah kesalahan untuk membiarkan anak - anak lelaki berusia belasan tahun untuk ikut dengan Ibunya, begitu tiba di  kamp exterminasi, sebab mereka akan langsung di giring ke ruang gas yang berjarak hampir satu kilometer dari perhentian kereta pengangkut. Jika anak lelaki tersbeut ikut sang ayah, maka kemungkinan dia akan menjadi tawanan dan melakukan kerja rodi. Kamp ini luas, dua puluh kali lipat dari luas Auschwitz. Sama halnya dengan yang terjadi pada Ghetto di warsawa, para Yahudi di paksa membangun sendiri barak -baraknya dan mengoperasikan fungsinya dari hari ke hari ( dengan segala kepayahan). Barak laki-laki terpisah dari barak perempuan. Dan barak laki -laki hanya di bangun dari kayu -kayu ala kadarnya, yang sama sekali tidak melindungi mereka dari dingin. Sementara barak perempuan lebih tinggi kualitas bangunannya, kendati terbangun dari kayu juga. Hanya saja, lantai barak keduanya sama saja, terbuat dari tanah yang jika hujan maka menjadi tergenang air dan berlumpur. Nah, para tawanan baru mendapatkan kesialan, karena mereka hanya mendapati lumpur tersebut sebagai alas tidur mereka di dalam barak yang penuh sesak dengan rak -rak kayu sebagai tempat tidur. Salah satu cerita yang membuat bergidik adalah ketika kami di bawa ke barak toilet umum para yahudi. Awalnya, Birkenau di bangun tanpa fasilitas saluran air yang baik. Tentu saja banyak tawanan yang terkena infeksi karena keadaan tersebut. Namun, ketika infeksi tersebut telah menjangkiti bahkan para pejabat NAZI yang tidak pernah mengunjungi kamp sekalipun, maka NAZI memutuskan untuk membangun saluran air. [caption id="attachment_163712" align="alignright" width="300" caption="Toilet barak laki-laki di Birkenau"][/caption] Di Birkenau, keadaan lebih pahit dari di Auschwitz. Pemandu kami mengatakan bahwa asupan kalori para tawanan hanyalah 120 kalori saja, dari asupan kalori normal para Jerman, sebanyak 1200 kalori (saya ragu apakah saya mengingat benar angka ini, namun kurang lebih begitulah perbandingannya). Asupan kalori tersebut jelas tidak mencukupi kebutuhan mereka yang bekerja keras sehari penuh secara fisik, kadang terjemur matahari berjam - jam, atau terbekukan oleh dingin berjam-jam, bahkan pada saat tidur sekalipun pada musim dingin. Belum lagi apabila mereka di haruskan mencuci baju seragam tawanan mereka tanpa ada ganti baju lainnya, maka baju basah tersebut di gunakan lagi pada malam hari. Di musim dingin, hal ini menjadi pemicu kematian banyak para tawanan kamp.Kamp ini benar -benar luas. Kami berjalan  jauh hingga menuju ke reruntuhan ruang gas, yang konon di bom oleh NAZI untuk meninggalkan bukti -bukti kekerasan mereka. Dekat dengan reruntuhan ruang gas tersebut, terdapat monumen para peziarah. Perlu di ingat, tak satupun yahudi korban Holocaust ini memiliki makam. Oleh karenanya pemandu wisata mengaharapkan pengunjung untuk menjaga sikap dan perkataan selama kunjungan demi menghormati para korban yang abunya tersebar di penjuru Birkenau. [caption id="attachment_163717" align="alignleft" width="300" caption="Monumen pemakaman di Birkenau"][/caption] Di ujung kamp, dekat dengan Canada ( tempat di mana mereka bisa mencari barang bekas milik yahudi lain yang sudah di eksterminasi) terdapat ruang exterminasi lagi yang sekaligus pusat penimbunan abu. Unik memang di Birkenau ini. Kendati jarak tidak seberapa jauh, namun para tawanan tidak pernah tahu apa yang terjadi di sisi lain kamp eksterminasi ini, terlebih di sebelah bangunan -bangunan barak yang kembali di runtuhkan atas perintah NAZI, demi membinasakan barang bukti atas kekejaman mereka. Jika kita melihat Birkenau dan mendengar ceritanya, sulit membayangkan bahwa semua itu terjadi di tempat tersebut. Bagi saya, sulit untuk membayangkan bagaimana mereka bisa bertahan hidup dalam panas dan dingin dengan semua kerja keras dan keterbatasan makanan serta sanitasi yang fatal selama lebih dari dua bulan. Tak heran, mereka yang bertahan hidup terlihat seperti tengkorak hidup yang setelah perawatan selama  6 bulan pun, belum mampu mengganti sekian banyak kalori yang hilang ( misal, berat orang dewasa sebelum masuk kamp adalah 75 kg, setelah di kamp, menjadi 20 kg). Banyak lagi cerita yang tidak bisa saya uraikan tanpa melihat objeknya langsung. Saat kunjungan Mei tersebut, Birkenau sedang ramai - ramainya. Karena Mei merupakan bulan perayaan Kebangkitan Warsawa ( Warsaw Uprising), yaitu upaya para yahudi yang hidup di bawah tanah untuk membebaskan diri dari ghetto, namun gagal. Seiring dengan perayaan tersebut, banyak para Yahudi yang juga mengunjungi kamp. Ketika itu, selain para militer, ada juga mahasiswa dan pemuka agama yang langsung datang dari Israel. Namun para Yahudi Amerika juga melakukan kunjungan rutin setiap tahun, sebagai pilgrimage. Suami saya tidak menyukai pemandangan para Yahudi yang mengibarkan bendera kenegaraannya selama kunjungan, ataupun upacara di monumen pemakaman yang menggunakan marching band. Menurut suami saya, sikap tersebut berlebihan. Saya juga merasakan demikian, agak berlebihan. Suami saya mengomentari lagi " seharusnya mereka belajar memaafkan". Ah, suami saya memang memiliki humor satir. Setelah semua kunjungan selesai, dia masih berkomentar lagi " tragis bener sih Poland....punya Auschwitz dan Birkenau, kalau di Indonesia kan Candi.....". Saya hampir meledakkan tawa mendengar perbandingan dia yang satir, kendati saya juga berpikir demikian. Artinya, mencari bekas -bekas kekejaman di Eropa itu mudah. Selain Auschwitz dan Birkenau dan kamp - kamp lain sejenis, masih ada lagi museum kekejaman abad pertengahan. PS: Foto -foto lain ada di FB saya yang sementara saya buka untuk umum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H