Bagaimana kita melihat sesuatu, bergantung pada lensa apa yang kita pakai. Fenomena bangsa Indonesia akhir-akhir ini dan mungkin sampai tahun depan, akan menjadi sorotan. Apalagi kalau bukan fenomena Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Sebelum saya mulai menjabarkan opini saya, ijinkan saya disclaimer dulu: dulu saya sempat mendukung Pak Jokowi pada masanya. Tetapi sekarang, pandangan saya sedikit berbeda. Saya cenderung netral. Maka kacamata netral inilah yang akan saya pakai dalam beropini.
Netralitas saya bukan berarti sebuah indikator yang menggambarkan penurunan kualitas dan performa Pak Jokowi sebagai presiden. Netralitas saya hanya sebuah 'kacamata' yang saya gunakan untuk menganalisis keadaan.
Saya menyayangkan komentar-komentar pedas antara kedua pendukung kubu yang cenderung saling serang. Cenderung jarang ada komentar yang membangun.
Saya kemudian berfikir. Pada dasarnya kita, hampir semua dari kita, tidak betul-betul mengenal tokoh-tokoh ini kecuali lewat media yang kemudian mengkonstruksi frame dalam pikiran kita untuk mengenal tokoh-tokoh tersebut.
Tidak semua dari kita pernah tinggal lama dengan Pak Jokowi atau Pak Prabowo. Betul-betul mengenal masa lalunya, tinggal bersamanya, mengetahui kesehariannya, mengetahui karakter dan tujuan hidupnya. Mungkin 90% penilaian kita dan kesimpulan kita berasal dari berita-berita di media atau kabar dari mulut ke mulut.
Penghakiman atau penilaian kita terkadang terlalu kejam. Kita menganggap politik kejam, tapi penilaian kita terhadap tokoh politik juga terkadang kejam. Kita cenderung untuk kritik yang destruktif dibanding konstruktif.
Mengapa kita menilai Pak Sandiaga Uno tidak komitmen kepada Jakarta? Bukankah justru dengan dia mungkin jadi wapres nanti, dia akan lebih bermanfaat, beyond Jakarta?
Mengapa kita cenderung menghambat seseorang untuk mengaktualisasi dirinya dan menjadikannya lebih bermanfaat dalam skala yang lebih luas?
Saya kemudian merefleksikan diri ketika saya diwawancara dalam seleksi LPDP. Faktanya, tidak semua janji pada saat saya "mengkampanyekan diri sendiri" ketika wawancara itu saya tunaikan karena satu dan lain hal. Saya menulis essay dimana saya akan bergabung di PPI Wellington, tetapi kenyataan di lapangan tidaklah semudah itu. Saya menulis dan mewacanakan akan melakukan penelitian dengan studi kasus di Katingan. Faktanya tidak demikian.
Karena satu dan lain hal, perubahan itu terjadi. Tapi mengapa perubahan itu menjadi musuh, sementara kita tidak tau proses apa yang membuat kita memahami mengapa perubahan itu terjadi, secara PERSISNYA?