Mohon tunggu...
Accidental Traveler Yudhinia Venkanteswari
Accidental Traveler Yudhinia Venkanteswari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Call me Ririe. An accidental traveler, yet a zealous worker. Author of @JalanJalanHemat ke Eropa, globetrotter wannabe, ngaku backpacker tapi ga punya backpack, open water diver, it's just me anyway... Feel free to share my blog to others. :)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jepang #13 - Kabuki

25 Maret 2011   06:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:27 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1301033234644925442

As you may know, kabuki itu semacam pertunjukan drama teatrikal berisi musik dan tarian. Mungkin kalo dicari persamaannya di Indonesia, mirip dengan pertunjukan wayang orang. Jadi di jamannya Tokugawa Ieyasu (yup, dia lagi dia lagi...) berkuasa, kabuki pertama di tahun 1600an itu yang main cewek semua lho! Karena dinilai terlalu erotis, para performer-nya 'bisa dipake', dan dimainkan di area 'lampu merah', akhirnya kabuki wanita (onna-kabuki) dilarang di tahun 1629. Kabuki muncul lagi dengan format pemain laki-laki semua (yaro-kabuki) beberapa waktu kemudian, dan itu bertahan sampe sekarang. Siapa sih yang nggak penasaran untuk lihat para pria (bukan banci) berbedak tebal yang bermain sebagai wanita? Kalo saya sih penasaran. :D Saya merasa beruntung pernah menonton performance kabuki langsung di Kabuki-za Theatre. Lokasinya di Higashi Ginza, bagian dari daerah pertokoan Ginza yang terkenal sebagai Avenue des Champs-Élysées -nya Tokyo. Bagian depan bangunan Kabuki-za lumayan lebar dibandingkan bangunan lain disekitarnya, jadi nggak susah deh nyarinya. Dari luar bangunannya tampak oldies tapi masih tetap megah dengan beberapa lantern & spanduk didepannya. Waktu itu saya dan beberapa teman membeli tiket pertunjukan matinee (namanya matinee a.k.a afternoon performance tapi mainnya jam 11 pagi :p). Kami mendapatkan sepotong tiket, satu pamflet tentang pertunjukan yang sedang berlangsung, & satu set transceiver (kombinasi radio transmitter & receiver alias HT) beserta earphone. Iseng kuputar-putar, ternyata ada beberapa channel, tapi cuma dua yang kutangkap yaitu Bahasa Inggris & Bahasa Jepang. Begitu masuk ke ruangan, kami menempati tempat duduk yang tidak bernomor. Wah, berarti dulu-duluan pilih tempat duduk dong, pikir kita. Karena kebiasaan nonton bioskop di Bandung, saya pilih di tengah deretan paling belakang. Oya, deretan tempat duduknya bertingkat mirip seperti di bioskop, tapi lebih curam. Bentuknya barisannya seperti huruf U, dengan balkon di deretan kanan dan kiri. Saya mengedarkan pandangan, jumlah tempat duduknya banyak sekali, sepertinya lebih banyak daripada yang ada di Cineplex 21. Pertunjukan sudah hampir mulai, tapi masih ada beberapa bangku kosong. Pikiran saya melayang ke pertunjukan wayang orang yang pernah saya tonton di Surakarta – Jawa Tengah, kondisinya sangat menyedihkan. Kursi kayu yang sudah sedikit reot dibuat berjajar menghadap panggung, dalam satu ruangan Gedung Sriwedari yang remang-remang itu jumlah penonton masih bisa dihitung dengan jari tangan. Pemain wayangnya sudah nggak bisa lagi menyembunyikan wajah keriput mereka dibalik make-up tebal, mereka juga rata-rata kurus sekali. Setelah pertunjukan wayang orang selesai, baru saya sadari bahwa diantara penonton yang bukan bule cuma saya dan keluarga pakdhe saya (suami-istri+2 anak). Kembali ke Kabuki-za, saya coba-coba mengabadikan panggung sepanjang 30meter-an yang layarnya masih tertutup, salah pencet, jadinya malah video pendek. Salah satu teman mengingatkan bahwa tidak boleh mengambil gambar dalam ruangan teater ini. Jadilah saya urung berfoto-foto dan hanya membaca pamflet yang tadi dibagikan sambil menunggu layar terbuka. Layar terbuka diiringi suara tok-tok-tok dari salah satu instrument musik. Oya lupa bilang, para pemain musik itu ada di sisi kiri saya, di depan panggung. Tampak di panggung ada semacam rumah tanpa dinding, didalamnya ada seorang pria berpakaian kuno dengan gaya rambut botak didepan & rambut diikat dibelakang. Dia bersuara melengking, entah berbicara atau menyanyi, yang jelas saya nggak lihat ada microphone, sementara suaranya terdengar lantang setidaknya sampai deretan saya. Dari sekian banyak kalimat yang diucapkan, nggak ada satu kata pun yang bisa saya tangkap. Saya iseng memutar channel ke Bahasa Jepang, tapi yang diomongin beda ama yang di panggung. Sama-sama nggak ngertinya, saya pasrah kembali lagi ke channel audio Bahasa Inggris. Terjemahannya nggak kalimat per kalimat, tapi jadi kayak sinopsis cerita yang sedang dipentaskan. Ah, ga seru! Pengen tau kan, dia lagi ngomong apa. Nggak berapa lama ada sosok perempuan, wajahnya tak terlihat, mereka berkomunikasi dengan nada seperti menyanyi. Kemudian ada seorang pria berpakaian tampak mewah, membunyikan bel di pagar & orang yang tadi didalam rumah keluar untuk membuka pagar, trus mereka ngomong-ngomong lagi. Tanpa menutup layar, adegan berganti di sisi panggung yang lain yang setting-nya seperti jembatan diatas sungai dalam hutan. Kali ini ada sepasang laki-laki & perempuan, mereka menghadap ke arah penonton. Asyik, ini yang saya tunggu-tunggu. Saya berusaha memperhatikan si ‘wanita’, yang pastinya diperankan oleh pria. Gerak-geriknya betul-betul gemulai, seperti wanita beneran. Dia pakai kimono wanita, pakai geta (sandal jepang yang kayak bakiak), bersanggul khas Jepang dengan tusuk konde yang pake gantungan berkilauan, bawa tas kecil & kipas. Mukanya benar-benar lukisan, aslinya udah sama sekali nggak kelihatan. Garis mukanya cuma terlihat alis yang dibentuk melengkung, bibir yang merah menyala, serta pipi seputih kertas yang diberi blush on warna pink. Saya jadi nyesel duduk jauh dari panggung, soalnya ga bisa merhatiin dengan jelas. Meskipun saya nggak bisa nangkep percakapannya sama sekali dan nggak terlalu jelas lihat raut muka, hanya dengan melihat gerak gerik mereka dan intonasi suara, saya bisa menangkap mereka sedang marah, sedih, senang, ataupun kecewa. Hebat sekali ya teater itu. Intinya yang saya tonton waktu itu berjudul Shuzenji Monogatari yang menceritakan tentang seorang mask-carver (pembuat topeng) yang ditugasi oleh seorang shogun untuk membuat topeng mukanya. Si pembuat topeng yang bernama Yashao itu punya dua orang anak perempuan, namanya Katsura dan Kaede. Katsura nggak puas hidup di desa dan pengen merubah nasib untuk jadi orang terhormat, sementara Kaede cukup puas jadi istri Hirohiko, seorang pengikut Yashao. Shogun Yoriie datang menagih topeng mukanya, tapi Yashao meminta maaf karena pesanannya nggak jadi-jadi karena dia sedang kurang fokus. Setiap coba bikin dan gagal, topengnya dihancurkan lagi. Katsura bawa topeng terakhir yang dibuat ayahnya, Yoriie bilang ini udah bagus & meskipun Yashao protes, Katsura tetep kasih topengnya ke Yoriie. Singkat cerita, Yoriie suka ama Katsura trus minta ijin ama Yashao untuk menikahi Katsura. Waktu mereka pergi, Yashao ngancurin semua topeng yang udah dia bikin karena menurutnya membiarkan satu topeng gagal lolos keluar adalah kegagalannya sebagai seniman. Ternyata Yoriie itu Shogun-nya cuma nama doang, sementara kekuasaan masih dibawah kendali Masako (ibunya) dan Regent Yoshitoki. Kanakubo dari Kamakura datang untuk membunuh Yoriie, jadi Yoriie & Katsura berusaha melarikan diri dibantu oleh Hirohiko. Waktu Hirohiko datang, Kaede & Yashao lega, tapi mereka masih mengkhawatirkan Katsura. Ketika ada seorang prajurit terluka yang roboh didepan gerbang rumah mereka, mereka menemukan bahwa prajurit itu adalah Katsura yang menyamar dengan mengenakan topeng Yoriie. Ya, mungkin saya nggak pinter nyeritainnya lagi, tapi gitu lah pokoknya. Hehe.. *ketawa garing BTW, saya menulis tentang Kabuki karena seorang teman memberitahu saya, saat ini Kabuki-za Theatre sudah ditutup untuk direkonstruksi, dan rencananya baru akan dibuka lagi 2 tahun lagi yaitu tahun 2013. Alasan dilakukannya rekonstruksi tersebut adalah kerentanan bangunan tua tersebut terhadap gempa bumi yang sering terjadi di Jepang. Hmm... lama juga ya. Katanya sih ntar tampak depan bakal dibangun menyerupai kondisi sebelum dipugar, tapi gedungnya akan jadi 43 tingkat. Hohoho…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun