Mohon tunggu...
Accidental Traveler Yudhinia Venkanteswari
Accidental Traveler Yudhinia Venkanteswari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Call me Ririe. An accidental traveler, yet a zealous worker. Author of @JalanJalanHemat ke Eropa, globetrotter wannabe, ngaku backpacker tapi ga punya backpack, open water diver, it's just me anyway... Feel free to share my blog to others. :)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jepang #1 - Daibutsu

21 Maret 2011   04:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:36 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1300692667583445656

hosh.. hosh... saya berlari-lari menaiki tangga berjalan, sambil merutuki kenapa lift punya jam mulai beroperasi lebih lambat daripada keretaku. kupercepat langkahku menuju lantai berikutnya, dan kereta itu berjalan tepat pada saat kakiku menapak di anak tangga terakhir. ah! dengan malasnya saya berjalan ke mesin penjual otomatis terdekat, sambil merogoh kantongku mencari kepingan yen. kulihat papan informasi, masih enam menit lagi sebelum kedatangan kereta berikutnya. keping demi keping kumasukkan sampai lampu indikator minuman kesukaanku menyala, kutekan tombol dibawah display, dan 'tring...' sebotol minuman jatuh. kurogoh laci mesin tersebut untuk mengambilnya. saat berbalik dari mesin tersebut baru kusadari, tidak ada tempat duduk untuk penunggu kereta sepertiku disini. hmm... kenyataan itu membuatku semakin malas. beberapa orang mulai mengantri dibelakang garis kuning dipinggir rel kereta. kupaksakan langkahku untuk bergabung bersama mereka. kutengok kanan-kiri, tak ada tanda2 oshiya disekitar rel. ah, tentu saja... ini kan hari minggu. tukang dorong pantat itu hanya beroperasi di hari kerja yang padat, dimana kereta penuh sesak dipenuhi para pekerja sepertiku. setidaknya ada satu hal yang bisa disyukuri hari ini. tak lama kemudian, keretaku datang. kulihat penumpang disekitarku, standar! hanya ada 3 kegiatan yang biasa dilakukan orang Jepang di kereta: pertama, tidur. kedua, baca buku. ketiga, pasang iPod di kuping, dan menunduk sampai stasiun tujuan disebutkan. tadinya saya ingin meniru mereka, tapi agak sulit. kegiatan pertama sudah pernah kucoba, tapi yang ada saya selalu terbangun panik di setiap stasiun yang namanya terdengar mirip dengan stasiun tujuanku. kegiatan kedua pun sudah pernah kucoba, tapi akhirnya saya malu hati membaca buku bertuliskan romaji (huruf abjad), ketahuan tak bisa baca huruf kanji. nah, kalo kegiatan terakhir, akhirnya kutinggalkan untuk alasan yang lebih tak masuk akal: tiap beberapa menit, saya harus mencopot earphone supaya bisa mendengarkan nama stasiun perhentian berikutnya. ingin rasanya saya untuk mengobrol dengan teman seperjalanan, atau sekedar bermain handphone untuk chatting, seperti yang biasa kulakukan didalam angkutan kota. sayangnya Tokyo bukanlah Bandung, jadi terpaksa kupasang earphone di telingaku tanpa menyalakan musik apapun sambil memandangi kedua ujung sepatuku. rupanya Kamakura adalah kota yang penuh dengan kuil. entah sudah berapa kuil yang kulewati, tapi tujuan utamaku hanya satu, Daibutsu. ya, patung Budha raksasa itulah yang membuatku penasaran. biasanya patung Budha berada dalam altar suatu kuil, tapi kalau yang tersisa hanya patung tersebut, saya masih tak bisa membayangkan seberapa besar kuil aslinya. di perempatan jalan ada seseorang yang membagikan kipas gratis, khas musim panas. kalo bukan kipas plastik, kipas kertas, atau sebungkus tissue, semuanya bergambar warna-warni meriah dengan berbagai iklan produk. biasanya tidak satu karakterpun yang bisa kubaca, jadi iklan di kipas maupun tissue biasanya tidak mempengaruhiku. kecuali kali ini... ada sebatang kipas bergambar warna-warni bunga dengan tulisan romaji: Hasedera. tidak, kalau kamu pikir saya suka bunga, itu salah besar. hanya satu yang kupikir, kalau saya bisa berfoto dengan background bunga aneka warna itu, ibuku pasti akan senang. hmm... kurasa daibutsu bisa menunggu. Daibutsu, akhirnya... meskipun sudah kubaca berulang kali bahwa tingginya 13.5 meter, saya masih terkagum-kagum dengan ukurannya. katanya sih, beratnya sekitar 93 ton. penasaran dengan 'isi' dari patung itu, saya hanya perlu membayar 20 yen untuk masuk kedalamnya. ternyata tidak terlalu menarik, dinding bagian dalam patung tembaga itu terlihat tua dan berbercak-bercak hijau. rupanya masuk kedalam patung bukanlah keputusan tepat, karena dalam sekejap ruang sempit itu penuh orang. saya nggak claustrophobia lho... cuma nggak suka berada di tempat yang sempit bersama banyak orang, eungap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun