Mohon tunggu...
Asad Ahmad
Asad Ahmad Mohon Tunggu... lainnya -

dreamer | freelancer | blogging | writing contents | graphic designing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Kota (Sebuah Cerita)

11 Desember 2012   15:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:49 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GREEGGGHHHHHHH !! suara rangkaian gerbong bergesekan saat pertama kali kereta mulai bergerak. Segera, perasaan lega berhamburan keluar dari pori-pori kulit.

Kupikir aku akan benar-benar matang dalam beberapa menit lagi. Meskipun sekarang malam hari, tapi sungguh gerbong kereta ini telah berhasil membuat para penumpangnya seperti berada di dalam panci rebus. Sumuk! Panasssss !! Setelah seperempatan jam menunggu peluit petugas, kereta ini akhirnya diberangkatkan pukul setengah sepuluh malam. Tiang-tiang bangunan Stasiun Senen seolah mulai bergerak ke belakang. Bismillah semoga lancar dan selamat sampai tujuan: Semarang!

Sebotol minuman pulpy kuambil dari saku luar handbag. Aku membawa dua tas. Satu ransel besar berisi banyak barang, termasuk oleh-oleh untuk adik kecilku. Yang kedua ya handbag itu tadi, isinya beberapa potong pakaian, beberapa snack dan sebuah kotak kecil, kado ulang tahun untuk seseorang di kota yang akan menjadi transitku sebelum ke Lamongan.

Aku mendapat seat number 17 B di gerbong tiga dan sebelahku seorang ibu-ibu. Perkiraanku umurnya tidak lebih dari empat puluh tahun. Di depannya, dua orang ibu-ibu yang memang satu rombongan dengannya. Sedangkan tepat di depanku sendiri, seorang pemuda ‘gaul’ dengan kupluk seperti dipakai Bob Marley dan Mbah Surip. Umurnya sebaya atau sedikit lebih muda dariku dan sepertinya lebih pendiam dariku. Dia tampak bermandi keringat menahan pengap dan panas udara di dalam kereta. Sepertinya hari ini aku beruntung karena mendapat tempat duduk yang longgar. Kursi dengan jatah tiga orang rupanya cuma diisi dua orang. Itu berarti aku akan cukup bebas bergerak selama kurang lebih delapan jam ke depan di atas kursi ini. Lalu kemana jatah satu lagi? Hehehe... Entah, bukan urusanku. Tanya saja ke pihak petugas kereta! :D

Kali ini aku pulang tidak sendirian. Ada sepupu yang juga sedang pulang liburan kuliah, hanya saja gerbong kami berlainan karena saat booking tiketnya belakangan. Dia di gerbong tujuh. Di belakang sana. Biarlah, dia juga sudah gede, sudah pintar mengurus diri sendiri.

Mencoba mencairkan suasana, keluarlah jurus andalan. Basa-basi! Bertanya hal-hal ringan seringkali berujung pada tambahnya informasi tentang suatu hal. Kadang pula menjadi keberuntungan yang ‘sangat’! ditraktir makan atau mendapat teman baru yang seru! hehehe....

Tapi sekedar wanti-wanti, jangan terlalu percaya sama orang yang tidak dikenal. Terutama untuk perempuan. Perjalanan sendirian bagi perempuan sepertinya masih cukup rawan. Pengalaman temanku, ia pulang bareng seorang laki-laki yang kebetulan baru kami kenal di stasiun. kata temanku ini, di perjalanan dia sangat baik, membelikan makan dan snack. Tapi saat tertidur, rupanya ia diperlakukan tidak baik oleh si malaikat palsu tadi. Sempat digrepe-grepe... , katanya. Miris! Aku menyesal berbaik sangka terhadap laki-laki brengsek tadi!

Sudahlah, kembali ke diriku! Diantara ke empat orang ini, Cuma aku sendiri yang nantinya akan meneruskan perjalanan ke jawa timur. Yang lain memang orang Semarang.

Kenapa kok Semarang? Tidak langsung ke Jawa Timur? Lamongan?!” Tanya salah satu ibu di depanku.

anu buk... Ya sebenarnya pengen begitu. Cuma... bla.bla.bla.....wis, akhirnya obrolan ngalor-ngidul!

Tujuanku memang pulang ke rumah di Lamongan, bukan Semarang. Harusnya aku naik kereta favorit Kertajaya dan turun di Stasiun Lamongan sebelum kereta kelas ekonomi ini berakhir di Stasiun Ps. Turi, Surabaya. Ya itu rencana dan bukan nasib! Faktanya saat booking, tiket ke arah Jawa Timur sudah ludes pada tanggal-tanggal yang kutargetkan. Mau tidak mau aku harus bisa fleksibel. Akhirnya Tawang Jaya dengan tujuan Semarang menjadi takdir yang mengantarku pulang. Banyak jalan menuju Roma kok. Dan banyak cara untuk pulang ke rumah!

sudah punya pacar??

gleggg..?!!” kaget, aku tak langsung menjawab pertanyaan ini. Si ibu tersenyum seolah aku ini anaknya yang sedang main petak umpet dengannya soal pacar. Aku tahu ini pertanyaan populer. Sangat biasa ditanyakan untuk memancing suasana lebih cair lagi. Meski termasuk kategori privat, biasanya orang akan dengan suka rela bahkan berapi-api membicarakannya. Curcol! :)

Tapi dari sinilah semua perasaan mulai diaduk kembali. Aku teringat kotak kecil di dalam tas.

Apa kita bisa bertemu?” batinku.

Kuhela nafas panjang mengingat masa lalu yang sulit kulepaskan. Masa lalu yang dipenuhi mimpi-mimpi indah. Mimpi untuk bisa hidup bersama seorang gadis yang pernah mencintaiku. Mimpi membangun masa depan bersama orang yang selalu memenuhi hari dengan semangat dan harapan. Hanya saja, sepertinya itu memang benar-benar sekedar mimpi. Karena aku terbangun dan semuanya seketika menjadi berantakan. Dia meminta putus dengan satu alasan yang benar-benar memaksaku pasrah dan malangnya keputusan itu diambil tiba-tiba saat aku berada jauh darinya. Mimpiku hancur lewat telpon. Sungguh sebuah lelucon menyakitkan!

Sekarang aku ingin sekali bertemu dengannya dan itu kurencanakan sekaligus dalam kepulanganku kali ini. Kangenku selama beberapa bulan tak terlukiskan. Lebih dari di ubun-ubun! Aku ingin memeluknya, erat dan tak akan lagi kumelepasnya. Aku ingin membicarakan sesuatu hal, mencari kemungkinan menyambung kembali apa yang sudah ‘putus’, membentuk kembali keping-keping hati yang sudah remuk, dan merencanakan masa depan dari sebuah kata “kita”. Itu harapan. Kalau bisa ya syukur, kalaupun tidak bisa, ya setidaknya aku mendapat kepastian dari apa yang kudengar waktu itu dengan seluruh jiwa ragaku. Bukan melalui telpon!

Ingin kumelepasmu dengan pelukan.....

Teringat sebuah lirik lagu, langsung kubuka handphone. Sesaat, kusambung headset lalu kupasang di telinga. Sebuah lagu yang dinyanyikan Ipang dengan karakter suara seraknya kuulang beberapa kali. Tentang Cinta.

****

Ah, Semarang! Kota penuh kenangan meski baru sekali aku kesana. Sebelumnya sempat ingin kubatalkan pulang jika harus transit di kota berawalan S ini. Tapi aku tidak punya waktu lagi untuk mengundur kepulanganku. Jadwal kerja sudah terlanjur kuatur sedemikian rupa. Salah satu kerabat yang sebaya denganku akan menikah. Aku juga sangat kangen rumah; ibu, bapak, adik-adikku. Rinduku sudah tumpah ruah.

Semaraaaaang, selamat pagi Sayang!” pesan singkat yang dulu sering kukirim kepada seseorang di sana saat sinar matahari mulai merambah bagian bumi ini.

Ahaaaa ! itu dia alasannya!! Kamu mengerti kan?! CINTA !

Mungkin kamu bisa memahami, sebuah tempat bisa menjadi rumah kedua meski kamu jarang kesana, atau malah mungkin tak pernah kesana sama sekali. Hanya karena seseorang yang kamu cintai berada di sana, seringkali secara otomatis tempat itu juga mempunyai arti penting di hatimu. Kadang saat berdoa untuk kekasihmu, kamu pastinya juga menyelipkan doa untuk kota yang menjadi tempat tinggalnya itu. Setidaknya kamu pasti berharap kota itu selalu aman dan nyaman untuk ditinggali sang kekasih.

Aku masih ingat sebuah percakapan melankonis dalam sebuah novel:

saat sesorang tidak lagi menyukai tempat untuk ditinggali, Cuma satu alasan yang membuatnya mau bertahan.”

Apa itu?

Kekasih yang kita cintai”.

Benar, kan?! Aku berani bertaruh bahwa kamu akan menyetujuinya! Bagiku, Semarang menjadi kota yang sangat indah karena seseorang paling indah di hati ini berada di sana. Ya sekali lagi meski aku Cuma sekali ke sana.

Tapi itu dulu. Sekarang, Semarang seolah masih menjadi kota yang mengerikan bagiku. Aku sempat hancur saat kekasihku berada di tempat ini.  Dan semua kepiluan ini menghantui diriku yang sekarang sedang berada di dalam kereta menuju kesana. Semarang, kota kenangan yang menyedihkan!

****

Sebentar-sebentar aku palingkan arah ke luar sana. Lewat jendela kereta yang sedikit buram, aku mengintip gelap malam. Pemandangan didominasi oleh gelap. Hanya sesekali terang saat melewati dalam kota atau perkampungan. Di atas sana, rembulan yang terlihat berbentuk sabit saat sore tadi sudah menghilang. Tertinggal hamparan langit kemarau yang penuh bintang.

Jo, aman kan?? Itu snack di tas makan aja. Kalau pengen kopi atau apa, beli sendiri ya!” aku kirim pesan singkat ke sesupuku sambil memastikan segala sesuatu di gerbong sebelah sana baik-baik saja.

Ribuan balok kayu yang menjadi bantalan rel sudah dilahap oleh si ‘sepur’. Beberapa kota sudah dilewati. Banyak penumpang yang sudah terlelap di tempat duduknya masing-masing. Meski posisinya kurang nyaman untuk tidur, tiga orang ibu tadi juga sudah tertidur. Dua berada di kursi masing-masing sambil selonjor menaikkan kakinya ke atas kursi yang lain, satu lagi pindah tidur di kolong beralas koran. Si pemuda menutupi mukanya dengan slayer sembari sebuah headset menancap di telinganya. Di sisi yang lain, sebagian penumpang masih bercakap-cakap, sambil menikmati kopi atau minuman hangat lain yang sempat dijajakan pengasong di dalam kereta. Segelas kopi mocca yang tadi kubeli kini sudah tinggal setengahnya.

Aku juga membawa rokok tapi hanya kutaruh di saku jaket tanpa kusentuh. Aku memang bukan pecandu rokok. Bisa dibilang sekedar ‘iseng’ karena seringkali aku membeli rokok sebungkus dan hanya satu atau dua batang yang kuhisap. Sisanya, kalau tidak dihabiskan teman ya menunggu jamuran di dalam bungkusnya!

Kembali lagi ke Semarang, kembali lagi ke cinta. Suasana membuat hati galau. Tersenyum kecut di hadapan takdir.

Di kota ini ada seorang gadis yang sangat aku cintai. Aku merasakan dia adalah takdirku. Suara lembut, wajah yang teduh, sikap seorang gadis modern yang manja, dewi langit yang agung, dan ibu anak-anak yang bijak. Aku berharap dia tidak hanya menjadi bagian yang pernah mengisi takdir hidupku, tapi juga takdir terakhirku.

Apa itu takdir? Aku sendiri belum mengerti. Guru, dosen, buku-buku sepertinya enak sekali merumuskan konsep takdir bahkan aku sempat menghapal definisinya. Hahahaha.... sekarang aku rasa itu lucu sekali. Takdir bukanlah seperti yang kuhapal itu. takdir bukan seperti dalam teori-teori. Seringkali kutanya apa yang terjadi dalam hidup ini apakah itu yang disebut takdir. Jadi  apa itu takdir? Aku tidak bisa menjawabnya muluk-muluk. Sederhana saja, “takdir itu cuma sebuah rasa, persepsi. apa yang aku rasa itulah takdirku”.

Makan, tidur, berjalan, senang, sedih, sakit, jatuh cinta, kecewa.... hidup, mati, ya itulah takdir. Semuanya adalah takdir. Entah baik atau buruk, entah yang bisa diusahakan manusia atau tidak.

Aku jatuh cinta pada seseorang untuk kemudian kecewa, itu juga bagian takdirku. Dalam kereta ini, takdirku adalah sedang menuju ke Semarang dengan semua rasa galau. Seandainya saja peristiwa menyakitkan itu tidak terjadi, tentu aku akan sangat senang pergi ke kota ini. selama kami menjalani proses ‘pacaran’, sebelum aku bisa resmi memilikinya, aku ingin sesering mungkin bisa kesini; kalau perlu menetap disini. Ingin kulipat saja peta dunia: Jakarta-Semarang-Lamongan. Tidak usah ada kota lain jadi pemisah. Hahaha...

Kembali tersenyum kecut sehingga harus kubasahi mulutku dengan kopi mocca yang sudah dingin agar terasa sedikit manis.

Tak bisa diingkari, aku masih memendam rasa cinta padanya. Tak peduli beberapa waktu lalu kalimat “kita harus mengakhiri hubungan ini” pernah merusak syaraf pendengaranku. Masa bodoh alasan katanya orang tua gadis ini kurang suka padaku. Semua alasan.... masuk akal, logis dan aku bisa mengerti. Tapi tahukah kawan, mengerti bukanlah identik dengan menerima!! Maksudku aku belum bisa menerima semua alasan yang diberikan! Percayalah jika kamu di posisi sepertiku, tak mudah untuk menerima kaputusan ini.

****

Sudah lewat pukul enam pagi, tapi udara Kota Semarang belum kuhirup. Kereta telat. Beberapa orang bergantian ke toilet. Sebagian masih ada yang tertidu dii kursi dan di kolongnya. Ibu-ibu di depanku sudah bangun sejak embun masih memantulkan merah mentari. Kami membiarkan waktu berlalu dengan banyak diam. Hanya sekali-kali bertanya atau membuat obrolan pendek. Salah satu ibu yang sedang memperbaiki make up-nya tampak ngegerundel soal kereta yang molor jadwal tibanya.

bisanya jam segini udah mau nyampe stasiun. Lah ini Semarang saja belum masuk! Emboh kie!!

Iya. Ini keretanya telat banget. Berhentinya kelamaan sih di kota anu.... !” sambung ibu satunya.

Sementara si Mas gaul hanya diam melihat ke luar jendela.

Pecel, buk.. mas, pecele mas. Masih anget loh.” Sela ibu-ibu menjajakan dagangannya.

Aku merasa perutku tergoda mendengar kata pecel. Tapi kutahan dan kubujuk untuk menunda sarapan sampai tiba di tujuan. Kupikir, sekalian nanti sarapan sama ‘mantan’. Hemmm.... mantan lagi, mantan lagi!

Aku kembali mengirim pesan singkat pada si ‘Mantan’. Semalam aku sudah sempat SMS menanyakan bisa tidaknya bertemu. Aku menawarkan dia untuk datang ke stasiun atau aku yang menemuinya dekat kantornya. Kebetulan, tempat kerjanya juga tidak terlalu jauh dari stasiun.

"Bisa. Jam berapa sampai, Bang??” balasnya semalam.

What !! Aku masih saja kurang bisa menerima kata ‘Bang’. Memang dulu pertama kali kenal, dia memanggilku ‘abang’, untuk kemudian berganti ‘Mas’, lalu ‘Sayang’ dan sekarang kembali lagi menjadi ‘Abang’. Evolusi kata panggilan yang buruk, menurutku!

Hanya saja kali ini SMS-ku sepertinya masih berada di dalam kotak pesan. Sampai memasuki Semarang, aku belum juga mendapatkan jawabannya. Uggggghhhhhh.... dia pintar sekali mempermainkan hati ini. kalau tidak bisa ya bilang tidak bisa! Aku kesal sendiri.

Wherever you go, whatever you do

I will be right here waiting for you

Kuputar kembali satu lagu lama. Kali ini tanpa headset tersambung jadi bisa didengar orang banyak. Salah satu ibu ikut menyanyikan pelan. Satu lagu yang dibawakan oleh Richard Marx di akhir akhir tahun 80’an itu rupanya dihafal olehnya.

wah, ibu keren! Hafal juga nih lagu !

iya dong! Dia kan juga pernah muda!” ibu yang lain menimpali kekagumanku.

dari pertama ngobrol, aku kira mereka Cuma tau urusan domestik keluarga. Ternyata ngerti juga bahasa inggris. Gak nyangka! Keren-kerennn !!” batinku kagum. Sekedar mengingatkan kembali akan satu pelajaran: “dont judge a book by cover!”

Jika para ibu ini mungkin merasa sudah tidak punya urusan dengan masa lalu dan sangat menikmati lagu lawas ini, maka berbeda denganku yang sebenarnya sedang merasa sesak jiwa. Lagu ini sungguh mewakili lara hati ini, mengekspresikan campur aduknya perasaan yang tak terungkapkan bibir. Menggambarkan apa yang sedang terjadi padaku saat ini.

Dulu, Aku sempat mendengarnya dalam versi instrumental. Tidak tahu itu suatu kebetulan atau bukan, tapi kudengar lagu ini saat pertama kali bertemu dengan kekasihku yang kini jadi mantan. O my God! Lagu yang sebenarnya sangat menyedihkan, tapi terdengar romantis sekali waktu itu. suasana orang yang sedang jatuh cinta memang kontras sekali dengan suasana patah hati. Apapun jadi indah saat falling in love dan menyiksa saat broken heart. Aku jadi ingin tahu, bagaimana Richard Marx bisa menciptakan lagu setragis ini?!!

Sekitar empat puluh menit, akhirnya kami sampai di tujuan, Stasiun Tawang, Semarang.  Karena belum juga ada balasan dari mantan kekasih, akhirnya aku mencoba menelponnya.

Nada suaranya tersambung, tapi tidak ada yang menerima.

O Ghost! Inikah takdirku?? Dear, tidak bisakah kita bertemu tuk terakhir kali sebelum kamu benar-benar pergi??

Sepagi itu, aku sudah merasakan kekecewaan yang luar biasa. Aku ingin menangis oleh kelemahan hati ini. hatiku benar-benar kembali terluka. Aku duduk sejenak di depan pintu keluar stasiun. Lesu, kecewa, menyesal, sakit hati, putus harapan, rindu dendam. Sepupuku hanya berdiri memperhatikan sekeliling tanpa tahu yang perasaan yang kupendam.

Di sisi lain, kereta jurusan Semarang-Surabaya sudah siap-siap berangkat. Keadaan tidak jelas, kuputuskan saja untuk langsung pulang ke Lamongan. Buru-buru aku memesan tiket sambil menahan kecewa. Sekali lagi kukirim pesan singkat. Aku batalkan rencana bertemu. Saat kereta berangkat, aku baru menerima sebuah SMS.

Maaf, aku telat bangun. Aku kesana ya,” Katanya.

Gak usah. Maaf, Aku langsung pulang saja. Keretaku juga sudah berangkat.”  Kata-kataku terlihat kecewa.

Mungkinkah masih ada waktu

Yang tersisa untukku

Mungkinkah masih ada cinta di hatimu

Andaikan saja aku tahu

Kau tak hadirkan cintamu

Inginku melepasmu dengan pelukan.....

Sementara lagu Tentang Cinta-nya Ipang kembali kuputar, ucapan happy birhtday to you hanya terbisik di hati.  Hadiah ulang tahun itu masih kusimpan dan tak pernah kukeluarkan sampai sekarang.

Dalam perjalanan pulang, kupandangi hamparan bumi gersang menanti datang hujan. Dari balik kusam jendela kereta, kunikmati saja luka hati yang mendadak menganga kembali. Aku berharap semoga semuanya cepat berlalu. I wish my self, her, and all always in happiness. Selamat tinggal Semarang. Lamongan, aku datang !!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun