Salah satu definisi ekspat yang merupakan kependekan dari ekspatriat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang hidup di luar negaranya sendiri. Umumnya digunakan untuk orang yang bekerja secara profesional di luar negara asal. Pasangan warga negara Perancis yang tinggal di Jakarta adalah ekspat. Saat ini saya tinggal di luar Indonesia, maka, orang Indonesia yang bekerja di negara tempat saya tinggal saat ini pun disebut ekspatriat. Pagi-pagi saya bongkar kamus untuk memastikan kalau definisi yang saya pakai untuk bercerita soal istri ekspat tepat adanya.
Istri ekspat disini, sebutlah salah satu negara di Timur Tengah, bisa berarti tetangga depan rumah saya yang jelas-jelas dua-duanya berkebangsaan Inggris, kolega suami saya dan istrinya yang sama-sama orang Arab tapi dari negara Arab lain, wanita Indonesia yang menikah dengan pria bukan orang Indonesia atau wanita Indonesia yang suaminya juga orang Indonesia. Jadi definisi istri ekspat disini bukan hanya istri 'bule' kalau kata istilah di tanah air ;).
Berdasarkan pengalaman pribadi dan cerita teman-teman maupun dari beberapa blog, biasanya pos/tugas di satu negara diikuti dengan negara lain. Dengan kata lain, dengan karir suami di dunia internasional, pasangan hidup (dan anak-anaknya jika ada) selalu kudu siap-siap untuk boyongan pindahan.
Kadangkala ada komentar: ih, enak hidup di luar negeri. Atau: ih, apa ngga cape tuh pindahan melulu? Biasanya saya jawab singkat: "we always try to get the best out of it".
Capek? Lumayan deh, kerja keras untuk urus pindahan ke negara lain dengan segala persyaratan dan birokrasi yang berbeda-beda dan bisa njlimet. Walaupun biasanya perusahaan yang menugaskan suami yang akan mengurus, tetaplah kita harus menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan, barang-barang yang akan dikemas dan diangkut perusahaan relokasi. Untuk yang punya anak lebih heboh lagi harus urus cari sekolah anak-anak.
Enak? Setelah urusan cari tempat tinggal yang tepat (yang bisa memakan waktu berbulan-bulan dan efeknya kita harus siap tinggal di hotel berbulan-bulan pula (eits, jangan kira hidup di hotel berbulan-bulan itu selalu enak lho)), sekolah anak, visa, KTP dan sebagainya selesai, disusul dengan buka rekening bank, no telfon baru dan beberapa tetek bengek lain, barulah hidup kita kembali dimulai. Menjelajah dan mengenal budaya setempat (makanannya apalagi), tentulah menyenangkan. Tapi, ini kan bukan sedang liburan.
Saya sebut di pos sebelumnya kalau punya teman sangatlah penting. Itulah yang saya cari secepatnya begitu urusan 'red tape' mulai beres. Kenalan pertama biasanya dari lingkungan kerja suami, kolega dan keluarganya. Setelah ada sosial media, mencari kenalan terasa lebih mudah lewat 'rekomendasi' teman lama. Sekitar 12 tahun lalu, harus lebih agresif deh. Saya cukup terkenal 'tukang' cari temen di jalan, alias, suka ngajak-ngajak kenalan kalau ketemu orang Indonesia. Karena menurut saya punya teman setanah air itu penting.
Ada banyak jalan. Kenalan lainnya (orang Indonesia ataupun bukan) misalnya tetangga dan kalau untuk yang punya anak bisa ketemu di tempat sekolah anak. Saya peroleh di tempat kursus bahasa atau dari tempat kerja ketika di satu dua negara saya bekerja paruh waktu. Dari kenalan bisa tumbuh menjadi teman dan bisa tumbuh lagi jadi teman baik. Jalan lainnya bergabung dengan berbagai perkumpulan. Untuk saya cara ini cukup efektif karena misalnya berkumpul sesuai kesamaan minat. Tidak hanya kesamaan hobi, perkumpulan bisa juga berdasarkan nasionalitas atau profesi, macam-macam deh.
Untuk ibu-ibu Indonesia, yang hampir selalu ada, pastilah arisan. Arisan dan makan siang. Saya ngga ikut arisan terutama karena kadangkala saya bekerja paruh waktu dan juga karena kami selalu berpindah-pindah jadi sulit untuk terikat. Itu alasannya.  Makan siang sesekali saya bergabung. Langsung pulang.
Seorang teman baru-baru ini pos di salah satu sosial media, tulisan salah satu blog mengenai percakapan ibu-ibu ekspat kalau sedang arisan. Pastilah banyak yang sudah tau isinya, tapi ngga hanya seputar harga tas dan barang-barang fashion kok. Dari telinga sendiri dan telinga beberapa teman lain bisa juga: kamu tinggal di rumah atau di apartemen siih? berapa harga sewanya (ini jebakan 'batman', lebih baik gak usah dijawab, karena responnya entah memandang sebelah mata kalau mereka pikir lebih murah dari harga sewa rumah mereka, sombong kalau yang kita sewa ternyata lebih mahal dari punya mereka, atau 'Schadenfreude' kalau mereka pikir yang kita sewa kemahalan dr harga pasar )? Lainnya, kok mau sih tinggal di apartemen? kan kecil gak cukup semua barangku yang banyak..atau: kasian deh ibu itu anaknya dua tapi tinggal di apartemen, paket kontrak suaminya kurang ok kayanya, tanpa sadar harga sewa vila lima kamar yang  dia tempati hanya setengah harga sewa apartemen ibu dua anak yang dia 'kasihani' tadi...kalau kata agen properti: lokasi..lokasi..lokasi..! Mobil (merk Jermankah?), sekolah anak (lokal? internasional?), toko perabot ( kita ngga pernah beli di 'toko furnitur Swedia yang masal itu' looh). Tapi pertanyaan paling 'top' menurut saya: suami kamu dapat bonus berapa? Padahal suaminya dan suami saya bekerja di bidang yang berbeda banget nget alias ngga nyambung.
Saya hanya baru pernah tinggal di 4 negara berbeda, teman saya yang pernah tinggal di lebih banyak negara bilang, kurang lebih sama juga dimana-mana topik bahasannya. Reaksi teman-teman yang merasa ngga nyambung dengan tema tersebut bermacam-macam. Ada yang dengan menghindari ajakan arisan karena toh kenalan/teman bisa didapat dari tempat lain. Untuk saya dan beberapa teman lain, dengar percakapan seperti itu kalau cuma sesekali bagaikan bumbu hidup. Seringkali tertawa geli bahkan terbahak-bahak sampai terdengar celetukan: kasian ibu yang itu cari kerja, mungkin uang dari suaminya kurang. Ok, that's it! hahaha ;D