Mohon tunggu...
Trailing Spouse
Trailing Spouse Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Female

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Istri Ekspat-Bagian Ketiga (Tamat)

2 Maret 2014   21:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini tulisan terakhir tentang istri ekspat deh, berikutnya janji berganti tema. Para istri ini secara garis besar bisa dibedakan (rasanya tepatnya sih membedakan diri) antara istri bule (jangan marah dengan istilah bule, suka tidak suka, inilah istilah yang dipakai di dunia nyata) dan istri non bule (baca: yang suaminya juga orang Indonesia). Kelompok pertemanan memang biasanya terbentuk berdasarkan kesamaan, salah satunya kelompok-kelompok ini. Biasanya secara alami. Tapi beberapa kenalan dan teman berpendapat lain, itu sengaja kok! Kenapa? Coba kita dengar dari dua sisi, biar adil.

Istri Non Bule (kita singkat INB disini) seringkali merasa mendapat perlakuan diskriminasi alias dipandang remeh kalau sedang berkumpul dengan Istri Bule (IB). Kalau sedang ngumpul-ngumpul, IB maunya ngobrol hanya sama IB juga. Dan para IB itu seringkali merasa 'level'nya lebih tinggi, maksudnya seperti apa, kurang jelas sebetulnya. Mungkin karena kita wanita lebih sering bermain dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Yang jelas, IB itu sombong-sombong, sok 'bule' ngelebihin pasangannya yang bule beneran. Padahal: kasian banget deh, kalau kita ngga perlu kawin sama bule pun bisa ke/tinggal di luar negeri. Itu salah satu ekstremnya.

Versi Istri Bule (IB): biar bagaimanapun, emang pastilah antara INB dan IB ada topik-topik yang ngga nyambung dibahas bersama. Lagi-lagi sulit dijelaskan dengan kata-kata. Pokoknya beda deh. Apalagi INB itu seringkali pukul rata kalau yang namanya IB itu pastilah ketemu suaminya di tempat hiburan malam atau bekas asisten rumah tangga (catatan: bahasa sedikit diperhalus untuk tidak melukai hati siapapun karena saya (dan banyak teman lain juga) paling anti 'kasta sosial', setiap orang berhak meningkatkan taraf hidupnya, singkat kata, berteman dengan siapa saja apapun latar belakangnya). Jadi yang sombong itu siapa? Kalau kita-kita IB dibilang ngga mau gaul sama INB, yah, suami kita kan bule, ya gimana dong, penghasilannya pasti beda deh dengan mereka-mereka (ini contoh ekstrem dari kubu IB, ekstrem karena semua juga tau ini gak bener banget, orang Indonesia kaya banyak banget loooh)

It takes two to tango.

Ada kenalan baru datang pindah ke kota di negara tempat tinggal saya sebelumnya. Saya ajak ke sebuah pertemuan biar bertemu dengan kenalan/teman lain. Ibu A bertanya: "oh baru pindah ya? sudah berapa lama? suaminya orang mana"?. Ini pertanyaan wajib diantara istri ekspat. Orang baru, sebutlah B, menjawab: "Baru dua minggu. Suami saya orang X (salah satu negara Eropa)". Ibu A menyahut: "oooh...kalau saya sih ngga minat sama orang bule., bukan selera saya deh". B yang orang baru (dan baru menikah juga) tampak kaget dan kehilangan kata-kata. Acapkali mendengar komentar seperti ini, kadangkala saya berpikir, kalau ditanya balik dan mereka menjawab: suami saya orang S atau J atau lainnya (menyebut salah satu suku bangsa di Indonesia) dan dibalas: "saya sih ngga selera dengan orang S/J/lainnya"..hmm apa jadinya ya? ;D

Saya harus berkata jujur disini, pasangan hidup saya alias suami bukan berasal dari Indonesia. Kadang-kadang saya berpikir, INB itu agak terlalu sensitif. Saya pernah disebut sombong gara-gara saya pernah berucap ngga bisa masak makanan Indonesia. Satu sahabat menyahut: "yang ngomongin belum pernah ngerasain rasa masakan (Indonesia) lo sih".. hahahaha. Kan saya sudah pernah bilang saya ngga jago masak, dan tau sendiri dong masakan Indonesia yang super lezat itu selalu kaya bumbu yang menurut saya jadi susah banget meramunya jadi hidangan enak ;D. Atau, kalau saya berbicara menggunakan bahasa suami saya, suka ada juga celetukan "sok banget deh". Padahal, teman saya yang asli Jawa Tengah dan setelah menikah dengan pria Sunda tulen jadi jago bahasa Sunda sering dapat pujian tuh :D.

Tapi saya ngga boleh bias disini. Istri bule itu norak-norak? Norak itu relatif, saya bingung juga dengan definisinya. Kalau yang 'ajaib' (menurut saya lho), memang ada.

Orang baru lain (juga baru menikah), sebutlah D, yang saya temui di kota lain, bertemu dengan pasangan hidupnya melalui dunia maya. Di lagi-lagi satu pertemuan ibu-ibu, dengan riangnya dia bercerita pengalamannya berhubungan jarak jauh dengan pria bermacam-macam kebangsaan sebelum akhirnya bertemu dengan yang paling pas.  Ngga ada yang aneh sampai sini. Sampai semua ibu-ibu yang ada disitu dia tanyai satu persatu punya suami orang mana. Begitu satu ibu menjawab: "suamiku orang I". D: "oh, orang I itu begini begitu, pacarku dulu orang I, tapi dia itu gini gitu, makanya gak mau deh aku sama orang I". Ibu lain yang ngga denger percakapan itu karena tadi sedang sibuk nyuapin makan anaknya menjawab: "suami saya dari J". D: " org J kan gini gitu, makanya aku putusin aja deh". Berikutnya: "Orang A itu begitu sih, makanya aku cuma setahun tuh tahan dengannya". Dan berikutnya lagi, semua nyaris dapat giliran. Menurutnya cowok paling pas itu ya dari negara asal suaminya. Saved by the bell, saya ngga perlu menjawab pertanyaan D karena acara keburu udahan hahaha.

Istri non bule terlalu sensitif?  Di restoran saya pernah bertemu dengan kenalan yang IB, sebutlah F. Saya mengenalkan dua teman makan siang saat itu. Pertanyaan wajib muncul. "Suaminya dari mana?"Satu IB, satu INB. Karena saya suka dengar curhat para INB, jadi saya ikut mengamati. Teman saya yang INB itu memang ternyata ngga diajak ngobrol lebih lanjut dan F terang-terangan hanya mengundang saya dan teman IB yang satu untuk datang ke rumahnya. Kebetulan?

Diluar IB dan INB, ada yang di tengah-tengah, pasangannya bukan bule tapi bukan orang Indonesia juga. Tapi saya hanya punya dua teman cukup dekat dari yang 'hybrid' ini (pinjam istilah film-film science fiction). Yang satu tenang-tenang aja, yang satu katanya merasa agak didiskriminasi juga walau diskriminasinya ngga separah yang INB. Karena contohnya hanya dua, kurang akurat ah. Tapi saya ngga akan cari contoh lain, kan saya sudah janji ini tulisan terakhir (minimal di Kompasiana) tentang istri ekspat ;). Yang pasti, klasifikasi ini ngga mutlak lho, banyak kelompok-kelompok pertemanan lain yang isinya ya macam-macam, mau IB, INB, Hybrid, yang bukan ketiganya, lajang dan sebagainya. Dan walau berbeda-beda campur baur, hubungannya tetap damai, tentram dan menyenangkan :). Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun